Immortal (Part 5)
Bel pulang pun berdering, Satya dengan santainya lewat
begitu saja dihadapanku. Aku tak yakin kalau dia mengkhawatirkanku, huh, dan
aku lihat Kak Elang sudah ada di depan kelas. Saat ia berpapasan dengan Satya
ia menebar senyum, lho? Sejak kapan Kak Elang dan Satya mengenal satu sama
lain? Sejak SMP bahkan SMA aku tak pernah melihat Satya atau Kak Elang bermain
bersama di sekolah. Atau mereka adalah sahabat? Masih banyak pertanyaan yang
berada diotakku, Kak Elang menghampiriku dan mengecup keningku. Seketika mataku
membulat sempurna seperti bola. Dengan refleks aku melihat Satya yang sama
terkejutnya denganku dan hanya berdiri mematung memandangiku dan Kak Elang. Ia
hanya tersenyum masam kepadaku, aku tak mengerti apa maksud senyum itu, ketika
aku masih asyik dengan imajinasiku, Kak Elang mengejutkanku dengan teriakkannya
yang cukup membuat manusia lanjut usia menjadi tuli.
“Apa sih Kak? Ngagetin aja.” Ucapku sambil menggembungkan
pipi.
“Ya lagian dari tadi Kakak disini kamu malah asyik dengan
lamunan kamu.”
“Oh, jadi Kakak cemburu sama lamunan aku?”
“Yaa... iya, Kakak cemburu, emang kenapa?”
“Hahaha Kakak lucu sekali. Sudahlah, ayo latihan.”
“Kamu ini, kita telat saja ya?” bujuknya padaku, duh, Kak
Elang kok jadi nakal gini? Spontan aku menjitak kepalanya. Dia langsung
meringis kesakitan.
“Ya, kekasihku ini semakin nakal saja.”
“Kan, kekasihku sendiri yang mempengaruhiku menjadi anak
nakal.” Jawabku sambil menjulurkan lidah dan kami tertawa bersama. Aku sudah
tak melihat Satya dipintu. Ah, mungkin dia sudah pulang, pikirku.
Dalam
latihan aku dan Kak Elang acap kali ditegur oleh Bu Dian, pembina olimpiade
matematika di sekolah ku. Sebenarnya aku masih tak mengerti dengan yang
dikatakan oleh Bu Dian, tetapi Kak Elang bilang ia akan mengajariku di rumah.
Yaa aku percaya saja, kan sekarang aku sudah resmi menjadi kekasihnya, jadi aku
tak perlu khawatir jika mamah dan papah melihatku dengan Kak Elang. Hahahaha.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, aku diantar pulang oleh Kak Elang dan
dengan jiwa yang gentle itu dia berkenalan dengan mamah dan papah ku secara
langsung! Oh tidak, aku baru melihat seseorang yang sangat gentleman itu. Ah,
aku bangga punya kekasih seperti dia ^_^
Keesokan
hari nya Kak Elang menjemputku, Satya, yang rumahnya memang disampingku
memandangku sayu dengan kantung mata yang terlihat hitam, dan..... sedikit
sembab. Aku semakin tak mengerti dengan sikapnya, sebentar ceria, sebentar
seperti orang yang ditinggal orang tercinta, dia seperti orang linglung. Huh,
Satya ini membuatku khawatir.
Sesampainya
di sekolah Satya tak melihatku sama sekali, ia terlihat murung, dan ketika
kulihat dirinya.... astaga! Tangannya terluka. Sepertinya terkena benda tajam.
Kenapa dia? Aku pun mengirimkan secarik kertas padanya.
Kamu napa hey? Murung amat -_-
Gak.
Huh, jawaban merek alien mana lagi ini -_- singkat amat
balesnya. Kukirimi lagi secarik kertas padanya.
Jutek amat lu,
jawaban merek alien belahmana tuh?
Ku lihat ia menerimanya dan menyunggingkan senyum
tipisnya. Haaah, syukurlah ia tak apa, aku takut ia kerasuan atau yang lainnya.
Gue lagi gaenak
badan, udah sana lu belajar aja.
Cobaa, jangan
suruh gue merhatiin pelajaran Pak Toni atau gue gantung diri.
Aneh lu, masa iya
lu mati gegara Pak Toni.
Iyaa, gue emang aneh,
kenapa lu sahabatan ama gue?
Aelah, jangan
ngomongin kesitu napa, gue mau kok jadi sahabat lu J
Ciaa, asyikk ^^
Satya bakal jadi sahabat aku ^^
“Echa, Satya, kalian keluar dari pelajaran saya.” Ucap
Pak Toni tepat saat Sari memberikan secarik kertas itu kepada Satya. Aku dan
Satya saling berpandangan dan terkekeh, lalu dengan santainya aku dan Satya
pergi keluar ruangan.
“Thank’s ya Cha, seenggaknya gue bisa tidur.” Ucap Satya
membuka pembicaraan.
“Eh? Lu gak tidur semaleman?” tanyaku heran.
“Udah ah, gue tidur dulu.” Jawab Satya tak menjawab
pertanyaanku. Tiba-tiba Satya tidur dibahuku dan membuatku terperanjat.
“Satya... lu.... nga....pain?” tanyaku terbata-bata.
“Udah, lima menit aja.” Jawab Satya. Aku hanya bisa
terdiam dan menuruti perkataan Satya. Entah mengapa aku merasa ada yang
berdesir dihatiku ini. Kulihat wajah teduhnya yang terlihat kelelahan.
Jantungku kembali berdesir. Oh tidak, mungkin aku merasa canggung setelah tadi
tak bersamanya.



Komentar
Posting Komentar