Hatiku, Apa Ada Disana?
“Ditaa! Kamu
tahu? Dia menyukai lagu yang kemarin ku persembahkan padanya.” Ucap Fajar
setibanya aku didepan rumahku. Entah aku harus bersikap bagaimana? Senang karena
sahabatku senang? Atau sedih karena perasaan ini semakin terhalang sebuah
tembok besar.
“Oh ya?
Selamet ya? Gue masuk duluan, gue laper.” Jawabku singkat dan menutupi
kekecewaanku yang kurasakan berulang kali. Tidakkah ia pernah menyadari
perasaanku? Tidakkah ia menyadari kekecewaanku? Apa hanya aku disini? Menikmati
cinta dan rindu yang termakan oleh kenangan? Aku tak sempat melihat sekeliling
lagi. Pandanganku kabur, Nayla, Kakakku pun tak ku sapa sama sekali. Sesampainya
di kamar sudah seperti kebiasaanku akhir-akhir ini; mengurung diri.
Ketukkan
pintu terdengar kembali, tak ku hiraukan ketukkan pintu yang berulang kali
seolah memanggilku untuk membuka pintunya. Dengan malas, ku buka pintu yang
sedaritadi berontak dan menginginkan sebuah respon. Dan ku lihat wajah yang
cerah dan teduh itu memandangku dengan berbagai makna; yang tak bisa
kujelaskan.
“Ada
apa?” tanyaku singkat, guna mempersiapkan hatiku yang akan kembali hancur.
“Hehe,
nanti malem lu ga sibuk kan?” tanya Fajar tiba-tiba.
“Gak,
kenapa emang?”
“Yaudah,
nanti malem lu dandan yang cantik ya, kita mau dinner.” Jawab Fajar dengan mata
berbinarnya.
“Dinner
ap..” belum selesai ucapanku dilontarkan, Fajar telah menghilang secepat angin
dihadapanku. Aku kembali menimbang-nimbang ajakannya. Apakah aku siap untuk
menyaksikan tatapan binarnya yang nyatanya bukan untuk aku? Mendengarkan ucapan
senangnya yang nyatanya hanya untuknya? Atau menatap kebersamaannya yang ia
pamerkan denganku? Kak Nayla datang tanpa kuminta. Dengan nada halusnya yang
takkan pernah ku bisa seperti dia Kak Nayla memberiku semangat seolah tahu apa
yang kurasakan.
“Kakak tahu
kamu menyimpan rasa pada Fajar, tunggu apalagi Dita? Mantapkan hatimu dan
berikan seluruh perasaan yang kau punya kepadanya agar dapat ia rasakan
perasaanmu yang tulus.”
“Tapi
kak, aku sahabatnya. Apakah sangat terlihat bahwa aku memiliki rasa padanya?”
“Tidak
untuknya, karena ia menganggapmu sebagai sahabat. Tapi, ia akan melihatnya jika
kamu terus memberikan kasih sayangmu padanya. Jangan kau pendam terus menerus
Dita.”
“Aku
belum siap untuk curahan hatinya tentang Novi Kak.”
“Sekarang,
ikuti saja keinginannya padamu, oke? Kau mandi dan ganti dengan gaun milik
Kakak, nanti Kakak akan meriasmu secantik mungkin.” Jawab Kak Nayla sambil
mengelus kepalaku.
Malam telah datang, aku dirias oleh
Kak Nayla. Sebenarnya aku terlalu asing dengan berbagai polesan diwajahku ini. Aku
seperti bukan diriku sendiri. Pintu kembali terdengar berontak, Kak Nayla yang
membukanya. Dan disana ada sesosok Fajar yang sudah rapih dengan setelan jas
yang melekat manis pada tubuh bidangnya. Aku diajak keluar oleh Kak Nayla dan
dengan tersipu malu melihat Fajar, yang kini tercengang melihatku. Ketika masuk
mobil Fajar, sudah ada Novi, yang notabenenya adalah kekasih Fajar. Aku kembali
menarik nafasku dalam-dalam, seolah dengan menarik nafas, maka aku akan ditelan
bumi sekaligus.
Dalam acara dinner kali ini, aku
layaknya sebuah gedung, hanya dapat membisu mendapatkan sesak dalam dada,
terkadang aku berfikir apakah dalam sorot matanya yang tajam itu menatapku
dalam gelap? Apakah hatiku ada disana? Ada dihatimu? Atau hatimu sudah terlalu
penuh dengan sosok wanita yang berada disebelahku ini? Aku tak mungkin
memaksakan dirimu untuk memasuki relung hatiku dengan dalam. Namun, tuan,
antara kau dan aku hanya ada tembok besar yang selalu kucoba robohkan, namun
hanya kau pandang dan kau tinggalkan.
Aku meminta izin untuk kekamar mandi
dan menangis dalam kamar mandi. Memalukan memang, namun, dada ini terlalu
sesak, hati ini terlalu rentan untuk selalu kubawa. Serpihan hati ini yang
perlahan-lahan kukumpulkan, kembali tercerai-berai. Sosokmu telah memenuhi
palung jiwaku. Entah kapan perasaan ini berubah untukmu. Apakah sebuah
kesalahan besar ketika perasaan ini berubah? Tak apa jika memang salah, aku
senang, karena dalam kesalahan ini aku menemukan dirimu.
Sesampainya dirumah aku mengurungkan
diri kembali. Kini hari-hariku hanya abu-abu, tak seperti sebelumnya yang penuh
dengan pelangi. Apakah hatiku, ada dalam hatimu? Setidaknya hanya sedikit
ruangan dalam hatimu? Atau harapanku yang terlalu besar untuk mengharapkannya?



Komentar
Posting Komentar