The Power of Love
“Niko, lu tuh ya nyebelin tau gak? Sini kembaliin.” Jeritku kepada seorang pria yang kini sedang menjulurkan lidahnya.
“Yee, emang apa sih isinya? gue jadi penasaran.” Jawabnya sembari naik ke rumah pohon yang sebenarnya ayahku yang membuatnya dan menghadiahkan untuk kami berdua.
“Udah coba, itu rahasia cewek semua isinya, kembaliin ga? Ayolah Niko, lu jangan jail gini dong.” Ucapku kesal. Dan Niko, pria yang merebut buku diary ku hanya menggubris kata-kata yang ku ucapkan dan tetap membuka isi buku itu.
“Oh, lu suka sama Kak Dito. Duh, ada yang jadi secret admirer nih.” Ledek Niko terhadapku setelah membuka beberapa halaman dalam buku diary ku. Aku memandangnya kesal, lalu berlalu meninggalkannya.
“Hey, Shinta! Lu marah? Ah, gaseru ah, lu jangan marah dong.” Teriaknnya ditujukan padaku. Seolah tak mendengarkannya aku pergi tanpa menoleh kearahnya. Entah, aku selalu kesal dengan perlakuan dia sekarang, aku tak suka jika dia mulai menjailiku.
***
Hari Minggu ini aku hanya berencana tidur dikasur kesayanganku, tak ku dengarkan teriakan Niko yang ingin berbicara denganku dibawah sana. Aku kembali menarik selimutku dan melanjutkan dunia mimpiku lagi, namun Kak Tirta masuk ke kamar ku.
“Shinta, itu kasian tuh Niko, udah teriak-teriak dari tadi, sebenarnya kalian kenapa sih?”
“Argh, udah deh kak, bilang aja aku gamau diganggu. Aku males ketemu dia.” Jawabku masih meringkuk dibalik selimut.
“Oh ya? Kamu pasti berantem lagi sama dia?” tanya Kak Tirta masih dengan rasa penasaran.
“Iya, aku berantem dan aku males sama dia! Udah lah kak, jangan ganggu aku dulu.” Kak Tirta yang tak mau membuat keributan denganku pun menutup pintu kamarku dan teriakan Niko terdengar berhenti.
Hari semakin siang, dan aku dengan malas membuka notebook ku, ku ketikkan beberapa bait puisi, memang aku sangat suka membuat puisi, namun akhir-akhir ini puisiku hanya berisi tentang Niko, tak seperti biasanya yang ku tulis hanya untuk Kak Dito. Ku alihkan pandanganku kearah jendela. Disana ada sebuah boneka dan bunga. Dari siapa itu? Setahuku aku tak pernah menaruh barang-barang di jendela. Aku melangkah mendekat jendela, dan sepertinya aku tahu ini dari siapa. Dalam bunga itu tertulis N , ya itu pasti dari Niko. Aku menatap bunga itu, ternyata dalam boneka terdapat buku diary ku yang direbut Niko. Aku membukanya, dan dalam halaman terakhir ada tulisan yang bukan tulisanku.
Maafin gue Ta, gue merasa bersalah pas lihat lu pergi gitu aja, gue udah buka privasi lu, tapi gue janji, gue bakal buat lu sama Dito deket, atau mungkin sampai kalian pacaran. Gue janji. Tolong maafin kelancangan gue Ta.
Aku terhenyak, sebegitukah aku padanya? Entah mengapa aku merasa ada rasa sesak ketika Niko berniat untuk mendekatkanku dengan Kak Dito, aku pun tak mengerti perasaan apa ini, yang jelas, aku seperti mengurungkan niatku untuk mendekati Kak Dito.
***
Hari Senin, hari ini adalah hari kelasku menjadi petugas upacara. Dengan buru-buru aku berlari menuju halte bus yang berada di dekat rumahku, Niko yang entah sejak kapan berada di sebelahku dengan tatapan yang sulit diartikan. Bus datang, namun sepertinya aku sudah telat, karena bus sudah terisi penuh oleh penumpang, khususnya para pelajar yang bertujuan sama sepertiku. Ketika masuk kedalam bus, tak ada satu tempat dudukpun yang kosong, malah sudah banyak penumpang yang terpaksa berdiri. Dengan malas, aku berdiri di tengah-tengah bus, namun ada tangan yang menarikku kearah depan bus. Aku terkesiap.
“Hey, mau apa sih?” ucapku saat fikiranku sudah melayang entah kemana.
“Udah, diem aja disini, biar lu gak kenapa-kenapa.” Jawab pria itu yang ternyata adalah Niko. Niko menarik tanganku kearah depan tubuhnya, dan sekarang aku berdiri paling depan, aku tahu apa maksud Niko ini.
Selama perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti kami, hingga kami sampai di sekolah. Di kelas, teman-temanku sudah sibuk akan tugasnya masing-masing, dan aku mendapat bagian sebagai anggota paduan suara. Bel sekolah berbunyi, menandakan kami harus berkumpul dilapangan.
###
Ting..tong..ting…
Bel pulang sekolah berbunyi, aku pulang dengan Nasya dan Tina, Niko ternyata berada dibelakangku memanggilku.
“Shinta!” panggilnya, aku menoleh tanpa berkata apapun.
“Lu masih marah sama gue?” Tanya Niko. Aku menggeleng dan berlalu begitu saja.
“Shinta, maafin gue, gue salah sama lu, gue mau nepatin janji gue Ta, please maafin gue Ta.” Katanya. Aku tetap berlalu dan Niko menarikku ke taman sekolah dan memojokkanku kearah pohon besar, mata nya sudah tergenang airmata, aku tak dapat melihat matanya yang jernih itu.
“Shinta, sebegitu bersalah nya gue sama lu? Gue bingung mau lu apa Ta, apa aja gue bakal lakuin buat lu, asal lu jangan marah sama gue, gue ngerasa bersalah banget Ta, gue kesiksa kalau kayak gini Ta.” Perlahan aku mulai mendongakkan kepala dan berani menatap matanya yang jernih dan bening itu.
“Iya, gue maafin lu kok, terserah lu kalo lu emang mau deketin gue ke Kak Dito, itu janji lu.” Jawab ku sambil tersenyum.
“Oke, gue tepatin janji gue.” Jawabnya kembali mengumbar senyum manis nya. Lesung pipinya muncul dari pipinya yang berkulit putih itu. Dia menggandengku kedepan gerbang dan mengajakku pulang bersama.
***
Sudah tiga bulan Niko berusaha mendekatkanku dengan Kak Dito, dan ternyata, hasilnya diluar fikiranku, Kak Dito mau menerimaku. Seperti halnya hari ini, aku ingin pulang bersama dengan Kak Dito. Namun, aku tak merasa senang, karena dengan dekatnya aku dengan Kak Dito, Niko seakan menjaga jarak denganku, dan aku tak menyukai perubahan yang terjadi pada Niko.
Bel pulang terdengar nyaring diseluruh penjuru sekolah, aku dengan sigap mencegat Niko didepan kelas.
“Niko, gue mau ngomong sama lu.” Kataku tegas padanya, dia menatapku lama.
“Mau ngomong apa? Ngomong aja.” Jawabnya. Aku menarik nafasku dalam-dalam sebelum berkata.
“Gue mau bilang kalo lu…”
“Hey, Shinta! Kakak cariin kamu juga, kemana aja hm?” Tanya Kak Dito yang langsung menghampiriku. Ku tatap wajah Niko, dia hanya tersenyum masam dan meninggalkanku dan Kak Dito. Sebenarnya dia kenapa sih?kok aneh banget gitu.benakku padanya.
Pulang sekolah hari ini aku langsung menuju rumah Niko untuk meminta penjelasan atas semua sikapnya tadi yang membuatku bingung. Ku ketuk pintu rumahnya beberapa kali. Hingga Bi Yuni membuka pintu.
“Bi, Niko ada?” tanyaku, Bi Yuni hanya mengangguk dan mempersilahkanku masuk kedalam rumah yang dapat dikatakan mewa itu.
Kulihat Niko sedang bermain piano kesayangannya dan tak menyadari akan kehadiranku. Aku cukup menikmati suguhan alunan music yang mendayu menghanyutkan hati siapapun yang mendengarnya. Ya, ini adalah lagu karangan Niko yang katanya untuk orang yang special dihatinya. Ku hampiri ia dengan hati-hati, takut-takut ia akan terperanjat dari kursi nyamannya itu.
“Niko..” panggilku lirih, ia segera menoleh kepadaku dan tersenyum; senyum sedikit dipaksakan tepatnya.
“Ada apa Ta?” tanyanya lembut, namun dalam intonasinya terdengar bahwa ia sedang terguncang. Tanpa pikir panjang kembali aku menarik tangannya dan membawanya kea rah taman rumahnya.
“Lu tuh napa sih?kok akhir-akhir ini sering ninggalin gue, gasuka main lagi sama gue, sebenernya lu kenapa?” Tanya ku to the point.
“Gue cuma gamau ganggu lu sama Dito, kan gue lagi nepatin janji gue, kalo lu butuh apa-apa lu bisa main kerumah ini kali Ta, gue gak berubah, cuma aja gue kasih lu ruang gerak lebih luas biar lu seneng sama Dito.” Jawabnya yang membuatku sadar, bahwa ia mengorbankan dirinya hanya untuk mendekatkanku dengan Kak Dito. Dia membelai kaku rambutku yang terurai.
“Trims ya Ko, lu udah mau nepatin janji lu.” Jawabku.
“Iya sama-sama manis.” Jawabnya sambil menggodaku.
“Siapa sih yang manis? Nanti gue direbutin semut. Awas aja ya lu.” Kesalku dan mengejarnya.
5 bulan kemudian…
Hari ini adalah bulan ke-4 perayaanku dengan Kak Dito berpacaran. Ya, empat bulan lalu Kak Dito menembakku ketika kami berada di taman hiburan dan di tonton oleh banyak orang yang membuatku terharu. Pada awalnya semua terasa terlalu membara dan meletup-letup. Namun, akhir-akhir ini Kak Dito terasa semakin menjauhiku. Awalnya aku berfikir ini akan baik-baik saja dan takkan memengaruhi hari-hariku. Namun, sepertinya semakin hari semakin ada yang ditutupi antara Aku, Niko dan Kak Dito.
Pulang sekolah seperti biasa aku menghampiri kafe Lokuto, kafe bernuansa jepang yang sering dikunjungi aku karena Kak Dito bekerja disana sebagai penyanyi kafe. Pandanganku menyusuri setiap sudut kafe itu, dan aku menemukan Kak Dito. Jujur, aku terhenyak, kali ini Kak Dito tidak sendirian, namun bersama seorang wanita yang sepertinya aku kenal. Karena rasa penasaranku aku memberanikan diri untuk mendekati kedua sosok itu. Dan ternyata dia adalah Vika, teman sebangkuku, aku tak percaya dengan semua ini, dengan mesranya Kak Dito merangkul bahu Vika. Sungguh jahat! Kak Dito ternyata tega terhadapku.
“Kak Dito…” panggilku lirih.
“Shinta? Kamu ngapain disini?” tanyanya dengan mata terbelalak. Tahukah? Rasanya hati ini lebih sakit dari tatapan terbelalakmu Kak Dito.
“Jadi, Kak bersama Vika?” tanyaku konyol. Dapat kulihat sunggingan bibir yang terukir manis dibibir Vika.
“Maaf Ta, Kakak bisa jelasin semua, semua yang kamu lihat tak seperti yang kamu fikirkan.” Aku sudah tak ingin mendengarkan apapun dari Kak Dito dan memilih pergi dari kafe ini.
“Shinta! Dengarkan dulu.” Panggilnya. Aku berlari hingga tak menghiraukan tatapan orang-orang yang melihatku iba dengan semua ini. Berulang kali kuhapus airmataku secara kasar dan berlari menuju jalanan. Kudengar keributan yang mulai tertangkap ditelingaku. Hingga satu suara yang masih dapat kudengar memanggil namaku.
“SHINTA AWAS!!!” ku tolehkan kearah sumber suara itu, itu adalah Kak Dito. Dan aku langsung merasa ada benda besar menghantam tubuhku, hingga aku terpental cukup jauh dan terhempas ke aspal. Dapat kuhirup bau amis diseluruh wajahku. Mataku rasanya sangat perih, dan semua organ tubuhku sangat sakit hingga semuanya gelap. Aku tak sadar.
***
Kucium ada bau obat-obatan disekelilingku. Sepertinya aku tahu dimana ini. Ku kerjap-kerjapkan mataku, kepalaku sedikit pusing. Dapat kulihat Ayah, Ibu, Kak Tirta dan seorang laki-laki yang tak ku kenal.
“Yah, Ibu, siapa dia?” tanyaku kepada Ayah dan Ibu.
“Kau tak ingat siapa dia nak? Dia Niko, sahabatmu.” Aku coba mengingatnya, namun nihil. Aku menggeleng, menandakan aku tak mengingat apapun tentangnya. Pria itu hanya tersenyum miris dan memandangku tulus.
“Aku tak mengingat apapun bu.” Jawabku pasrah. Kulihat ibu mulai menangis, aku semakin tak mengerti dengan keadaan ini. Dan ibu pun meninggalkanku dengan lelaki itu.
“Hey, Shinta, lu tuh ya, tega banget ga inget sama gue.” Ungkap lelaki itu.
“Apa kita dulu sangat dekat?” tanyaku mulai dihinggapi rasa penasaran.
“He-eh, dulu kita itu seperti alas kaki, sangat dekat dan saling melengkapi.” Jawabnya sambil tersenyum. Tiba-tiba sekelebat bayangan pria dating dan membuatku sangat pusing, rasanya aku pernah melihat senyuman itu.
“Lu gapapa kan?” Tanya nya. Aku menggeleng berusaha untuk baik-baik saja.
Sebulan kemudian….
Menurut dokter aku mengalami separuh amnesia, hingga aku hanya ingat ketika aku kecil, tak mengingat apapun setelahnya. Sekarang aku tetap tak mengenal apapun tentang lelaki bernama Niko itu. Siapa dia, bagaimana dia, dan mengapa aku dapat berkenalan dengannya.
Hari ini, Niko mengajakku ke taman hiburan, tuturnya taman hiburan ini adalah taman hiburan favoritku dan dia. Niko berusaha sangat keras membuat ingatanku kembali. Aku menghargai sikapnya yang tangguh itu. Dia menggandengku menuju bianglala. Aku takut akan ketinggian, ketika berada diatas, bianglala itu berhenti. Aku mengingat sebuah bayangan ketika aku berteriak dengan seseorang laki-laki yang sedang menertawaiku dan berkata “Lu gausah takut, ada gue disini.” Dan aku menangis lalu ditenangkan oleh lelaki itu yang tak jelas wajahnya.
“Argh! Niko, gue pusing argh!”setelah itu semuanya gelap.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Niko telah berada dihadapanku. Aku mengingat semuanya, semua tentang Niko.
“Niko, sekarang gue inget lu.” Ucapku, Niko langsung tersenyum dan memelukku erat.
“Thank’s Shinta. Thank’s.” ucapnya terharu dan menangis.
***
Kini aku berada di bandara, setelah kejadian itu Niko meninggalkanku ke London, dia memutuskan untuk belajar disana. Hari ini sudah ke lima tahun dia pergi meninggalkanku. Niko pernah berkata ketika ia sudah meninggalkan Indonesia selama lima tahun maka aku boleh menghampiri rumah pohon kami.
Didalam rumah pohon itu terdapat kardus yang sudah terbungkus rapih. Aku membuka kardus itu, dalamnya terisi sebuah album fotoku bersama Niko dan juga foto ku yang Niko ambil diam-diam, terdapat beberapa barang yang memang mainanku yang direbut Niko, juga buku diary yang akupun lupa menaruhnya dimana. Terdapat sebuah surat disana.
Hallo Shinta!
Jika kau membaca surat ini berarti aku telah meninggalkanmu selama 5 tahun, benar kan? Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan yang telah kupendam lama. Aku memang pengecut, tah berani mengungkapkannya padamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyayangi lebih dari sahabat, aku mencintaimu Shinta, sangat mencintaimu, ada rasa sakit ketika kau bersama Dito, dan ada rasa bersalah ketika kau kehilangan ingatanmu walaupun separuh. Aku akan pulan tanggal 27 Juli 2013 pukul 12.00 siang, aku harap kau datang dengan memakai kalung pemberianku sebagai jawaban bahwa kaupun mencintaiku, jika kau tak menerimaku, maka kau boleh tak menemuiku pada hari itu.
Salam
Niko.
Kulihat didalam amplop itu terdapat liontin yang cantik. Aku juga mencintaimu Niko. Batinku. Ku genggam liontin itu dan melihat ke jam tangan yang melingkar manis ditanganku. Waktu menunjukkan pukul 11.45 siang dan hari ini tanggal 27 Juli. Tanpa piker panjang aku langsung berlari mencari taksi menuju bandara.
Pukul 12.15 aku baru sampai di bandara, kuarahkan pandanganku keseluruh penjuru bandara yang luas ini. Tak ku temukan sosok Niko. Hingga ku lihat seorang laki-laki tegap yang berjalan menuju pintu keluar, itu Niko! Sekuat tenaga aku berlari mengejar Niko.
“Niko!” teriakku, lelaki itu menoleh dan tersenyum melihatku. Aku berlari kearahnya dan menghambur ke pelukan nya.
“Aku juga mencintaimu.” Jawabku yang membuat Niko mengeratkan pelukannya.
“Trims Shinta, aku mencintaimu.” Ucapnya sangat jelas ditelingaku membuatku menangis.
“Jangan tinggalkan aku lagi Niko, gue tersiksa saat lu gak ada.” Isakku.
“Gue selalu ada buat lu Ta, gue gak akan buat lu kesepian lagi.”
Kini aku mengerti, tak semua jalan cerita mengalami hal yang membahagiakan, kitapun akan bertemu dengan hal yang membuat kita menangis atau membuat kita menunggu, menunggu memang tidaklah menyenangkan namun dengan menunggu ku dapatkan suatu hal. Kekuatan cinta akan mengalahkan segala rintangan yang ada dihadapan kita. Setiap gua pasti ada ujungnya, maka setiap permasalahan akan menemukan titik terang. Belajarlah mencintai selagi kamu dapat mencintai, jika kamu sudah tidak dapat mencintai maka percuma kau mengalami ‘kehidupan’.

Komentar
Posting Komentar