Immortal (Part 2)



“Ehem, ehem, sekarang kita kirim salam-salam yang dikirim kesini. Ini ada salam buat Echa, ini dia pesannya. ‘Echa, ini gue, gue cuma mau bilang selamet ya lu bentar lagi ikut olimpiade, gue do’ain lu menang nanti..’.” suara radio itu yang sedang mengirim salam. Tapi tadi salam buat siapa? Aku? Dari gue? Tumben ada yang kirim pesan ke aku. “.....dari temen lu.” Akhir suara radio itu digantikan oleh alunan melodi. Alya, Angel, Sari, Tania, Nia, dan Linda memandangiku heran. Mampus kan aku bakal diinterogasi. Sepertinya pemikiran mereka sama denganku.
“Echa, kayaknya itu penggemar lu deh, ciee Echa lu sekarang udah gede ya. Lagian kita-kita ga ngirim salam gitu ke lu.” Cerocos Linda dihadapanku kayak bebek aja. Aku aja kaget, malah diinterogasi gini, lagian siapa sih yang kirim salam gitu? Jadilah aku menjadi pusat perhatian teman-teman yang berada disebelahku ini. “Gue aja kaget, lu lagi.” Jawabku sambil menggembungkan pipi kesal.
            Dian yang sedang mengambil mengambil makanan dan minumanpun setengah berlari menghampiriku. Tanpa ia sadari tali sepatunya terlepas dan ia tersandung dengan tali sepatunya dan menumpahkan bahkan memecahkan piring dan gelasnya. Aku menatap teman-temanku, seakan tau apa yang akan terjadi, maka perangpun dimulai.........
            Benar saja dugaanku, kita semua dihukum oleh Pak Toni untuk membersihkan cucian piring yang ada di kantin. Bukannya sedih, kita semua malah senang, karena habis istirahat itu pelajaran Pak Toni.
“Dian, makasih banget yaa. Seenggaknya aku bebas.” Ucap Sari senang. Kami pun tertawa terbahak-bahak ketika ingat wajah Pak Toni tadi yang sudah mirip kepiting rebus karena kesal dengan ulah kami. Hahaha mukanya itu sangat lucu. Kami dihukum hinggan pelajarannya usai, tetapi Nita berharap lain. Ketika ia menceritakan pengalaman buruknya saat ketahuan berada di kantin pada saat jam pelajaran dan melihat muka Pak Toni yang seakan keluar asap dari kepalanya yang sudah ingin mengepul-epul.
            Bel pergantian jam pun berbunyi. Aku dan teman-temanku kembali ke kelas. Anak-anak dikelas malah mengataiku sebagai ‘pencuci piring’ padahal tak hanya aku yang mencuci piring, ku lihat Satya yang sedang memandang keluar jendela seolah sedang mencari inspirasi. Semenjak aku pingsan aku memang dekat dengan Satya, namun akhir-akhir ini aku melihatnya seakan menjauhiku. Ketika satu langkah lagi aku sampai dengan mejaku, namun tiba-tiba aku merasa sangat sulit untuk bernafas, aku terbatuk, rasa nyeri yang luar biasa terasa didadaku, semakin kucoba menghirup udara, rasa nyeri itu semakin sakit dan terasa berat. Kulihat Satya yang berlari kearahku, aku serasa tercekik, aku tak bisa bernafas, dan semua nya gelap.
            Aku membuka mataku, bahwa aku sudah sadar. Aku sangat hafal tempat ini, ini adalah rumah sakit, aku memang sering kesini karena penyakitku, ya, penyakitku ini biasa disebut pneumothorax, penyakit ini adalah gangguan pada paru-paru, akibat adanya luka pada paru-paru, biasanya si penderita akan merasa tiba-tiba kehilangan nafas, batuk, denyut nadi cepat, nafas pendek, nyeri yang luar biasa dan tak sadarkan diri. Aku dapat melihat papah, mamah,Kak Andi, teman-temanku termasuk Satya dan Kak Elang. Aku tak bisa mengatakan sesuatu hal dengan jelas karena mulutku dimasukan selang pernafasan. Aku tersenyum melihat mereka semua disini. Setidaknya aku dapat kembali bernafas.
“Hey semua, kok ada disini semua?” ujarku membuka pembicaraan. Satya dan Kak Elang terlihat habis menangis, tak lama dokter datang, ia memeriksaku dan mengatakan bahwa aku sudah melewati masa kritis. Terlihat semua menghela nafas lega. Aku pun senang. Harusnya aku mendapat donor paru-paru hidup, namun, aku juga tahu diri. Siapa pula yang ingin mengasihkanku paru-paru hidup miliknya untuk orang lain? Juga dengan kriteria paru-paru yang harus bersih. Aku tahu itu sangat tidak mungkin. Dan aku hanya dapat menunggu keajaiban.
            Sudah seminggu aku berada diruangan rumah sakit ini. Aku merasa rumah sakit sudah menjadi rumah kedua, hari ini pagi yang cerah. Aku diperbolehkan pulang oleh dokter. Kak Elang menjemputku bersama teman-teman. Tetapi aku tak melihat Satya, kemana dia? Hah, sudahlah, mana mungkin dia memperdulikan ku? Aku menghembuskan nafas dengan kasar, sehingga Kak Elang melihatku heran.
“Kau tak suka pulang Echa?” tanyanya. Eh, bukan gitu, aduh aku salah ambil langkah.
“Eh, bukan gitu kak, tapi, aku terlalu senang bisa keluar dari rumah kedua.” Jawabku sambil tersenyum.
“Echa, kamu itu kuat, kamu harus sembuh dong.” Sahut Angel sambil menangis, anak ini kekanakan sekali.
“Iya sayang, aku kuat kok.” Jawabku sambil tersenyum.
“Jadi cuma Angel nih yang kamu panggil sayang?” tanya Kak Elang memancingku. Jujur, aku menyukai Kak Elang, apalagi akhir-akhir ini ia selalu berada disampingku.
“Ah, maaf, Echa lupa, iya kakak sayang.” Jawabku tersenyum lembut pada Kak Elang, teman-temanku pun menggoda ku dan Kak Elang.
“Sa, kayaknya mobil kita penuh deh, kamu pakai mobil nya Kak Elang aja ya?” sahut Nita sambil tersenyum jahil. Aku tak mengerti maksud mereka dan akhirnya aku menuruti perkataan mereka.
Di mobil, Kak Elang menyetel lagu yang romantis dengan alunan yang lembut, namun suasana romantis itu langsung pecah karena suara perutku yang meminta untuk diisi makanan. Kak Elang pun terkekeh senang.
“Kamu mau makan dimana?” tawar Kak Elang.
“hmm, aku mau mie dingin kak.” Jawabku sambil tersenyum.
“Baik, ayo berangkat.” Jawab Kak Elang semangat.
“Ayo!” sahutku ikut bersemangat.
            Tak lama, mobil Kak Elang terparkir dengan manisnya di depan restoran favoritku. Kak Elang menuntunku masuk ya karena aku masih merasa lemas karena efek pengobatan kemarin. Sebenarnya mamah dan papah sering menyuruhku untuk menjalani pengobatan alternatif saja. Namun, aku sering menolaknya. Dan sekarang, kami semua hanya bisa pasrah.
“Mba, mie dingin nya dua ya. Oh iya mau minum apa Sa?” tanya Kak Elang dengan manis. Oh tidak, aku merasakan pelangi ditubuhku, rasanya sangat senang. Eh, jantungku mulai bergemuruh, aduh, aku jangan grogi depan Kak Elang dong T-T
“Hm, apa ya? Ikut Kak Elang aja deh.” Jawabku sembari tersenyum padanya, entah mengapa bibir ini seolah tertarik dengan sendirinya jika melihat Kak Elang.
“Oke, sama Moccacino float nya dua ya mba.” Ucap Kak Elang pada pelayan disana. Tak lama ia menatapku lekat-lekat.
“Sebentar.” Katanya singkat lalu meninggalkanku yang masih terbengong dengan tingkahnya yang tiba-tiba.
            Waktu berlalu, sudah lima belas menit, tetapi Kak Elang tidak kembali, aku mulai berfikir yang aneh-aneh, apa mungkin dia kabur ya? Ah, tidak mungkin. Tadi Kak Elang sendiri yang mengajakku. Atau jangan-jangan Kak Elang sakit? Aduh, bisa bahaya nih, memang semenjak aku berada di rumah sakit Kak Elang selalu menjagaku sepulang sekolah dan mengajarkan soal-soal yang diperkirakan akan di olimpiade nanti. Saat aku ingin berjalan, kaki ku sangat lemas, dan saat aku hampir terjatuh Kak Elang menopang tubuhku.
“Kamu ini bandel sekali. Kakak kan sudah bilang, kamu ini masih lemas, jangan banyak bergerak.” Omel Kak Elang. Entah mengapa melihatnya begitu memperhatikanku aku merasa sangat senang, aku tersenyum kepada Kak Elang.
“Ya kalau gitu aku kapan sembuhnya kak?” jawabku, selama aku di rumah sakit tak ada yang tahu apa penyakitku yang sebenarnya, dokter juga mengatakan bahwa aku terlalu memaksakan diri dan kelelahan.
“Kamu bakal sembuh kok, kakak yakin.” Ucap Kak Elang meyakinkanku. Aku baru tersadar, aku saja yang tak optimis bahwa aku bisa sembuh. Terimakasih Kak!
            Pesanan datang, alunan melodi di restoran ini mengalun lembut. Tiba-tiba datang sekumpulan orang membawa banyak buket bunga. Lampu restoran dimatikan, dan muncul lah lilin disekitar ruangan. Kulihat Kak Elang mengeluarkan kotak yang berisi kalung yang indah sekali. Dengan suara yang lembut, namun tetap bisa kudengar Kak Elang berkata.
“Echa, maukah kamu menjadi pacarku?”

-To Be Continued-

Komentar

Postingan Populer