Bisakah Hanya Aku?
"Ditaa, anterin gue yuk." ucap Fajar padaku yang sedang asyik membaca novel.
"Kemana? Gue mager ah." jawabku. Dapat kulihat dari celah buku, raut Fajar yang terlihat kesal itu.
"Ke toko kaset, bentar kok, yayaya?" goda Fajar, namun entahlah aku sedang tidak tertarik.
"Gue beliin novel deh, yang terbaru." dasar Fajar, tau saja letak kelemahanku yang sudah tergila-gila dengan sebuah benda bernama novel itu.
"Iya deh, gue anter." jawabku malas, namun tidak dengan Fajar, ia seperti anak kecil yang mendapat permen dari ibunya, sangat senang.
Dalam perjalanan menuju toko kaset kesukaan kami, Fajar mengajakku mengobrol kesana kemari mengingat kenangan, sesekali menertawakan orang lewat, jahat memang, namun itulah kebiasaan kita. Tak lama kamu sampai di toko kaset Lentera, aku turun dari sepeda kesayangannya dan masuk toko, Mbak Dini, pelayan toko itu menyambut kami gembira, memang kami sudah lama tak berkunjung kesini, Fajar dan aku sama-sama memiliki kesibukan sendiri. Mbak Dini membuka pembicaraan kami.
"Kalian ini kemana saja? Mbak jadi bete tau gak ada kalian."
"Kami ada di hati mba dong." jawab Fajar bercanda, namun Mbak Dini sepertinya menganggap yang berbeda, ia terlihat tersipu malu.
"Yaudah, sok sana banyak laagu baru tuh." aku dan Fajar pun memilih beberapa kaset dan membayarnya.
Seperti yang Fajar janjikan, dia membelikanku dua novel yang bergenre romance yang isinya ternyata seorang secret admirer.
"Lu suka ama novelnya?" tanya Fajar, aku mengangguk.
"Syukur deh kalo gitu." ucapnya sambil tersenyum dan membelai rambutku. Debaran itu kembali terasa, dan aku merasa dialah penyemangatku selama ini.
Sesampainya di rumah Fajar, aku meneruskan membaca novel dan Fajar mengambil gitarnya dan bertanya padaku.
"Dita, lu seneng banget sih sama novel? Emang didalem itu ada apa sih?" aku mengulum senyum melihat muka penasarannya.
"Dalam novel itu kisah yang gak mungkin di dunia nyata terjadi, dan segala permasalahan sesulit apapun terasa mudah, dalam hal percintaan juga selalu berakhir dengan saling mencintai bak putri dalam dongeng. Dan aku suka semua itu." kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa ku sadari. Fajar melihatku dengan tatapan tajam, tatapan yang selalu membuat jantungku berdegup cepat.
Dan ketika semua hening, tiba-tiba deringan telepon Fajar terdengar dan aku dapat menebak siapa yang menelpon.
"Halo.... Iya sayang... Iya aku kesana ya?.... Oke sayang, aku cinta kamu." itulah kata yang Fajar lontarkan diujung telepon. Aku merasa ada yang sakit dalam hatiku, lagi-lagi ku harus ditampar kenyataan bahwa Fajar hanya sahabatku, tak lebih.
"Dit, gue keluar dulu sebentar, kalo ibu gue nyariin bilang aja gue kerumah Andi ada yang dipinjem gitu, oke?" ucap Fajar yang hanya kubalas dengan senyuman ysng kupaksakan sekuat mungkin. Aku melihat Fajar yang keluar rumah dan menghilang, tak bisakah aku yang menjadi yang pertama? Tak bisakah hanya ada aku dihatimu? Layaknya kamu yang selalu ada dihatiku? Tak bisakah kau hanya memikirkan aku? Tanpa kau membawa orang lain dalam percakapan kita. Aku yang bodoh! Begitu mudah masuk kedalam pesonamu, kedalam perhatianmu yang ku anggap lebih dari teman. Dan sekarang? Aku hanya bisa memendam dan menunggu.


Komentar
Posting Komentar