Arti Penantian


“Rismaaaaa, ayo ikut dong.” Ucap seorang anak kecil yang mengerucutkan bibirnya.
“Apaan sih?” jawabku dan tetap memainkan tuts tuts piano.
“Argghhhhh ayo ikut aja.” Jawabnya yang membuatku tampak menghiraukannya.
Tren…treng…treng…
Suara tuts piano yang tak beraturan yang dikarenakan laki-laki itu yang membuatku semakin geram.
“Alfiaaaannnnn.” Ucapku kesal padanya, sedari tadi dia seakan tidak suka karena aku selalu memainkan piano peninggalan kakekku—itu pun ibu panti yang memberitahuku—. Alfian yang langsung mengambil langkah seribu dan terjadilah peristiwa kejar-kejaran.
***
“Alfiaaaaan jangan lari kamu! Itu makanan punya akuu!” teriakku ketika Alfian begitu saja mengambil makanan yang tadi ku beli.
“Kamu beli aja lagi, ini buat aku.” Jawab Alfian dengan santainya menggigit potongan waffle tersebut.
“Ih, kamu nyebelin ya.” Jawabku dan kembali membeli makanan waffle lagi, namun Alfian merebutnya lagi.
“Alfiaaaannnn!” ucapku kesal dan langsung ku kejar dia dan dia berlari dengan kencang.
“Hahahahaha ayo Risma kejar aku kalau bisa hahahaha.” Tawanya sungguh tak pantas. Dan aku langsung berlari kembali dan berusaha menangkap Alfian, si bocak tengik itu.
            Di taman bermain itu aku dan Alfian layaknya anak kecil berumur lima tahun yang sedang berkejar-kejaran dengan tak pasti. Dan dengan tibs-tibs Alfian menghentikan langkahnya hingga….
“Awww!” ucapku yang tertabrak dengan Alfian yang tiba-tiba berhenti dan tersungkur ke tanah. Dengan Alfian dihadapanku yang mencegah aku untuk terjatuh, aku yang berada diatas Alfian terpaku dengan posisi seperti ini, matanya yang lucu memandangku lekat-lekat.
“Risma…” panggil Alfian lirih. Aku tersadar dan bangkit dari Alfian.
“Oh, maaf, pasti berat ya?” ucapku dengan pipi merona.
“Hehe, emang kamu kan gendut.” Jawab Alfian meledekku.
“Dasar tuh yaa, kamu tuh nyebelin tau.” Aku meninggalkan Alfian yang masih terpaku diatas tanah taman.
            Ketika aku hendak menyebrang jalan raya dan meninggalkan Alfian, terdengar suara teriakan dan gemuruh yang sangat kencang. Sempat ku dengar suara khas Alfian.
“RISMAAAA AWAS!!” aku menengok kearah Alfian yang terbangun dan berlari kearahku, namun, terlambat, badanku tertabrak benda yang besar, rasanya sakit luar biasa hingga aku tak sadar
***
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, sedikit pusing yang aku rasa, aku dapat mengerti keberadaanku sekarang, aku berada di rumah sakit, aku melihat Alfian yang tertidur diatas sofa, saat aku ingin memanggilnya suaraku tak jelas, mengapa aku? Aku tak dapat berucap dengan jelas, Alfian terbangun dari tidurnya dan mendekat kearahku, mulutnya berbicara, namun aku tak dapat mendengarnya. Sebenarnya ada apa dengan diriku? Aku takut, tak ada suara yang tertangkap dengan jelas, seakan mengerti dengan tatapanku, Alfian menuliskan sesuatu dikertas.
Jangan takut.
Aku semakin tak mengerti maksud dari tulisan itu, sepertinya otakku mulai mencerna apa yang terjadi pada diriku, tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin tuli! Tidak! Sekuat tenaga aku menjerit, namun tak ada suara yang keluar, aku frustasi, bagaimana bisa suara ini menghilang? Tidak! Tidak! Aku terus menerus berusaha berteriak, dapat kulihat Alfian yang berusaha memanggil dokter dan menenagkanku,  dia menangis, aku melihatnya. Aku merasa betapa kasiannya diriku ini, aku menangis, menangis dengan frustasi, jika aku tuli, setidaknya aku ingin dapat berbicara, dan pelan-pelan suara itu muncul kembali, aku bernafas lega, aku dapat berbicara, walau tak terlalu jelas.
Dokter menghampiriku dan memeriksaku. Wajahnya berubah sumringah dan dia berkata sesuatu yang samar-samar kudengar. Wajah Alfian pun berubah senang dan mengecup keningku. Aku semakin bingung, ada apa ini? Aku memang seorang yatim piatu, sehingga tak aneh rasanya melihat yang mengunjungiku hanya Alfian yang juga yatim piatu. Kami mengenal satu sama lain ketika kami masih kecil di panti asuhan, dan pada saat kami menginjak remaja, kami diadopsi, namun orangtua angkat kami berada di luar negeri sekarang. Alfian menulis disebuah kertas.
Tenang, kau hanya tuli mendadak karena shock, kamu akan sembuh.
Aku tersenyum melihatnya, rasanya semangat hidupku kembali tumbuh. Aku memandang dokter dan mengucapkan terimakasih. Suara ku kembali, aku dapat berbicara normal kembali.
***
Sudah satu minggu aku berada di rumah sakit dan hasilnya memuaskan, pendengaranku semakin membaik, dan dokter berkata hari ini aku boleh pulang.
“Terimakasih dok.” Ucapku senang.
Aku keluar menggandeng tangan Alfian, kami sepakat untuk tidak memberitahu siapapun atas kejadian seminggu lalu, dan kami pulang dengan perasaan lega. Sesampainya di rumah, aku merebahkan tubuhku diatas sofa ruang tengah. Aku memandangi piano yang terletak tak jauh dari sofa. Aku mendekati piano itu dan mulai memainkan setiap tuts-tuts piano. Karena terlalu asyik dengan dentingan piano aku tak sadar bahwa Alfian yang sudah berada di dekatku. Dia menarikku ke taman belakang dan menutup kedua mataku.
“Kita mau apa sih?” tanyaku penasaran.
“Udah, ikut aja.” Jawab Alfian dengan suara bass nya itu.
Aku mengikuti arahan yang ia tujukkan. Hari memang sudah malam dan aku tak tahu apa yang dilakukan Alfian.
“Nah, sekarang buka mata kamu.” Ucap Alfian yang aku turuti, dapat kulihat deretan lampu yang indah dan didepanku ada dua buah kursi dan satu buah meja bundar dengan berbagai makanan diatasnya.
“Alfiaaann…” panggilku, dia tersenyum dan mengantarkanku kearah meja itu.
“Sekarang adalah waktu yang tepat.” Ucapnya yang semakin membuatku tak mengerti.
“Risma, perlu kau tahu, bahwa aku mencintaimu, lebih dari seorang kakak terhadap adik, namun seorang pria terhadap wanita, mau kah kau menungguku dan menjadi pasangan hidupku.” Ujarnya tegas, lelehan airmata mengalir ke pipiku, aku tahu sebentar lagi ia akan melanjutkan studinya ke California, dan aku pun merasakan hal yang sama namun aku tak menjawab apapun dan hanya menangis sambil terus menatap manic matanya.
“Baiklah, jika kau memang ingin menungguku pakai cincin ini ketika aku kembali, jika tidak, maka tetap simpanlah cincin ini ditempatnya.” Ujarnya, sebenarnya aku belum dapat memastikan perasaanku yang sebenarnya terhadap Alfian, aku hanya mengambil kotak cincin itu dan tersenyum, senyum yang dipaksakan. Dia mengelus rambutku dan duduk sambil menatap langit.
“Cuaca yang bagus.” Gumamnya, hanya dibalas anggukan olehku, rasanya aku belum siap menerima kepergiannya, aku ingin waktu berhenti sekarang, aku tak ingin melepasnya Tuhan…
***
5 tahun kemudian…
“Risma, ada yang ingin design interior hotel layaknya berada di kebun eropa, tolong kerjakan dengan tim mu.” Ucap Pak Doni, bos ku di perusahaan Trust ini, ini adalah perusahaan yang melayani dalam bidang design indoor maupun outdoor. Rasa lelah menghinggapi badanku, aku melihat foto yang tergeletak di meja kerjaku, fotoku bersama Alfian 5 tahun lalu. Ku buka laci dan memandang kotak cincin itu dengan lama, hingga ku putuskan menaruhnya kembali.
Pukul 12 siang, aku berlari ke bandara, mencari sosok yang sangat ku rindukan, ada suatu hal yang ingin ku sampaikan pada sosok itu. Tak lama dari terminal 2 keluar sosok pria berbadan tegap dan tegas. Itu adalah Alfian, ia tersenyum melihatku dengan baju kantorku yang terlihat santai.
“Risma, aku kangen kamu.” Ucapnya langsung memelukku. Dan kami memutuskan untuk pulang.
Dalam perjalanan pulang Alfian terus memandangi jemariku yang tak terbalut cincin, tanpa berpikir panjang dia bertanya padaku.
“Apa kau tak mau menungguku?”
“Kau akan tahu.” Jawabku sambil tersenyum. Aku mengajaknya kea rah taman kota, dia masih bingung dengan tindakanku. Aku tersenyum melihatnya.
“Aku memang tak memakai cincin itu dijemariku, namun aku memasangkannya disini.” Ku keluarkan kalung yang melingkar manis dileherku, disana ada cincin yang diberikan Alfian sebagai bandulnya, Alfian yang melihatnya langsung terhenyak dan memandangku lama. Hingga ia dapat mencerna maksudku dan langsung memelukku dibawah pancuran itu.
“Aku juga cinta kamu Alfian.” Jawabku pelan, dia semakin mengeratkan pelukannya dan aku merasa bahagia.
-THE END-

Komentar

Postingan Populer