Ketika Aku Tahu, Kau Terlalu Rapuh
Aku berusaha mengejar Fajar yang melangkah semakin menjauh dan
semakin tak mendengarkanku. Aku memanggilnya berulang kali hingga
rasanya suaraku sudah serak.
“Fajar! Berhenti!” ucapku berteriak disusul isakan yang meluncur begitu saja. Fajar berhenti dan berbalik menghadapku dan mendekatiku.
“Dita, lu gak bakal tahu sakitnya gue sekarang, jadi please, sekarang jangan ganggu gue lagi, gue mau sendiri.” Jawabnya sembari menghapus airmataku yang entah mengapa sulit dihentikan.
“Setidaknya kamu akan merasa lebih tenang jika berbagi beban denganku, jika kau sakit, menangislah, bukankah kita ini sahabat? Jangan pendam semua sendiri, karena kau tak pernah sendiri Jar, masih ada gue sebagai sahabat lu.” Ucapku dengan beberapa kali menghapus airmataku kasar dengan punggung telapak tanganku.
Fajar hanya melihatku dan perlahan memegang kedua pipiku, ia menatap tajam mataku. Disana dapat kulihat guratan kekecewaan yang memancar dari matanya itu. Perlahan mata itu mengeluarkan beberapa air emosi yang keluar dari pelupuk matanya dan dengan hitungan detik dia mendekapku. Tak ada yang dapat kuucapkan lagi. Aku hanya mengusap punggungnya yang kokoh namun ternyata hatinya begitu rapuh.
“Maafin gue Dit, gue sampe ngelupain lu ketika gue sama Novi, buat bareng Novi gue sampe ngorbanin sahabat gue sendiri. Maaf Dit.”
“Sekarang bukan siapa yang salah, tapi tenangin hati lu Jar, gue ngerti pasti ini cobaan buat lu, tapi itu semua yang terbaik buat lu, ambil hikmah dari semua ini ya?” jawabku yang tak dijawab Fajar. Ia hanya mengeratkan dekapannya dan sesekali terdengar isakannya. Apakah sesakit itu Fajar? Apa dia sangat berharga untukmu? Aku terus menerus mengelus punggungnya itu.
“Dit..” panggilnya lirih.
“Iyaa, gue ada disini Jar..” jawabku. Dia terus mendekapku, dapat kurasakan debaran jantungnya yang begitu menenangkan.
“Jangan tinggalin gue Dit.” Ucapnya.
“Gue selalu ada disini kok.” Jawabku lembut.
30 menit telah berlalu, perlahan namun pasti Fajar mengendurkan dekapannya padaku dan memandang mataku. Tak lama ia tersenyum, senyum yang dipaksakan. Hingga aku bertekad untuk tak pernah membuat Fajar menangis lagi, takkan membiarkan ia menanggung semua sendirian.
“Thank’s ya Dit, gue ngerasa baikkan. Gimana kalau kita ke danau?” ajaknya dan berjalan mendahului ku yang mengikutinya dari belakang.
Punggungnya memang kokoh, namun didalamnya ia sungguhlah rapuh. Fajar, kau harus kuat, semua ini adalah cobaan, jangan terus menerus tenggelam dalam kesedihan, karena aku akan tersiksa melihatmu seperti ini. Kau harus tegar dan menerima semua ini, jangan hanya karena seorang wanita kau menjadi rapuh Fajar. Aku tahu kau kuat.
“Fajar! Berhenti!” ucapku berteriak disusul isakan yang meluncur begitu saja. Fajar berhenti dan berbalik menghadapku dan mendekatiku.
“Dita, lu gak bakal tahu sakitnya gue sekarang, jadi please, sekarang jangan ganggu gue lagi, gue mau sendiri.” Jawabnya sembari menghapus airmataku yang entah mengapa sulit dihentikan.
“Setidaknya kamu akan merasa lebih tenang jika berbagi beban denganku, jika kau sakit, menangislah, bukankah kita ini sahabat? Jangan pendam semua sendiri, karena kau tak pernah sendiri Jar, masih ada gue sebagai sahabat lu.” Ucapku dengan beberapa kali menghapus airmataku kasar dengan punggung telapak tanganku.
Fajar hanya melihatku dan perlahan memegang kedua pipiku, ia menatap tajam mataku. Disana dapat kulihat guratan kekecewaan yang memancar dari matanya itu. Perlahan mata itu mengeluarkan beberapa air emosi yang keluar dari pelupuk matanya dan dengan hitungan detik dia mendekapku. Tak ada yang dapat kuucapkan lagi. Aku hanya mengusap punggungnya yang kokoh namun ternyata hatinya begitu rapuh.
“Maafin gue Dit, gue sampe ngelupain lu ketika gue sama Novi, buat bareng Novi gue sampe ngorbanin sahabat gue sendiri. Maaf Dit.”
“Sekarang bukan siapa yang salah, tapi tenangin hati lu Jar, gue ngerti pasti ini cobaan buat lu, tapi itu semua yang terbaik buat lu, ambil hikmah dari semua ini ya?” jawabku yang tak dijawab Fajar. Ia hanya mengeratkan dekapannya dan sesekali terdengar isakannya. Apakah sesakit itu Fajar? Apa dia sangat berharga untukmu? Aku terus menerus mengelus punggungnya itu.
“Dit..” panggilnya lirih.
“Iyaa, gue ada disini Jar..” jawabku. Dia terus mendekapku, dapat kurasakan debaran jantungnya yang begitu menenangkan.
“Jangan tinggalin gue Dit.” Ucapnya.
“Gue selalu ada disini kok.” Jawabku lembut.
30 menit telah berlalu, perlahan namun pasti Fajar mengendurkan dekapannya padaku dan memandang mataku. Tak lama ia tersenyum, senyum yang dipaksakan. Hingga aku bertekad untuk tak pernah membuat Fajar menangis lagi, takkan membiarkan ia menanggung semua sendirian.
“Thank’s ya Dit, gue ngerasa baikkan. Gimana kalau kita ke danau?” ajaknya dan berjalan mendahului ku yang mengikutinya dari belakang.
Punggungnya memang kokoh, namun didalamnya ia sungguhlah rapuh. Fajar, kau harus kuat, semua ini adalah cobaan, jangan terus menerus tenggelam dalam kesedihan, karena aku akan tersiksa melihatmu seperti ini. Kau harus tegar dan menerima semua ini, jangan hanya karena seorang wanita kau menjadi rapuh Fajar. Aku tahu kau kuat.



Komentar
Posting Komentar