Takkan Terganti
‘Malam yang indah. Bertabur bintang, dan
disini aku masih merindukanmu dengan sangat. Apa kau bahagia berada disana?’
gumamku sambil melihat langit yang berwarna gelap dengan kerlap-kerlip bintang
yang menghiasinya. Dan ditemani bulan purnama yang menambah kecantikan wajah
langit malam ini.
“Ibu!
Aku menemukan foto ini. Dia siapa bu?” Tanya seorang gadis kecil berumur enam
tahun yang manis dan menggemaskan. Berlari dan ikut duduk di ruang keluarga.
“Ah,
kau menemukan ini nak? Dia adalah seorang pahlawan bagi Ibu.” Jawabku. Ya,
gadis kecil ini adalah Deira, anakku.
“Iya
bu, aku menemukannya disebelah tempat tidur ibu, ini Ayah bu?” Tanya Deira
dengan mata berbinar. Ku usap rambutnya yang panjang dan ikal itu dengan
lembut.’ Dia memang pintar sepertimu.’ Batinku.
“Yup,
kau ini sangat pintar, dia adalah Ayahmu sayang.” Jawabku tersenyum. Memang
menggemaskan.
“Namun,
Ayah tak benci akan kehadiranku kan bu?”
“Memangnya
kenapa sayang?”
“Teman-temanku
berkata bahwa Ayah membenciku hingga Ayah pergi jauh dariku bu.”
“Teman-temanmu
ini yang salah menyangka sayang. Ayahmu itu sangat mencintaimu. Hingga apapun
akan dia lakukan demimu.”
“Namun
mengapa Ayah tidak berada diantara kita bu?”
“Ceritanya
panjang sayang, kau harus mengerti.”
Tetesan embun perlahan-lahan
berjatuhan dengan hawa sejuk yang menggelitiki tubuhku yang masih meringkuk
manis diatas kasurku yang empuk ini untuk segera bangun dan menjalankan
aktivitas.
“Pagi
yang indah.” Gumamku ketika membuka jendela kamarku setelah kicauan burung berhasil
membangunkanku.
“Alice!
Kau sudah bangun nak?” Tanya Ibu yang berada di pekarangan rumah.
“Sudah
ibu.” Jawabku senang. Hari ini adalah hari liburanku setelah menempuh masa-masa
putih abu-abu. Masa SMA. Dan menempuh jalan baru yang pasti akan lebih sulit.
“Ibu, Ayah, aku ingin ke toko buku dulu ya,
Assalamu’alaikum.” Pamitku usai sarapan.
“Iya,
hati-hati nak, Wa’alaikumsalam.” Jawab mereka berbarengan, aku terkekeh geli.
Mereka memang pasangan serasi.
Entah mengapa aku bersemangat sekali
untuk ke toko buku. Mengincar segala kebutuhanku dan juga mencari novel-novel
remaja yang sangat kusukai. Sesampainya disana, aku seperti orang kesetanan
mondar-mandir dan terus menerus mengambil buku-buku. Hingga menjadikan sebuah
tumpukan tinggi, yang mau tak mau aku bawa dan membuat pandanganku terhalangi
oleh tumpukan buku ini. Aku berjalan sesuai keyakinanku hingga akhirnya..
“Argh!”
pekik seseorang di depanku. Hah, aku ini ceroboh sekali.
“Kalau
jalan hati-hati dong.” Ketus seseorang di depanku. Aku tak berani melihatnya
yang aku yakin dia sangat marah, diam-diam aku mengintip di balik tumpukan buku
yang ku bawa.
“Maaf.”
Ucapku akhirnya. Namun dia terlihat semakin marah.
“Kalo
butuh bantuan tinggal bilang, gausah kayak gini sendirian.” Nadanya melemah dan
membawakan separuh buku yang aku bawa. Aku masih terpaku di tempatku. Tak
percaya dengan apa yang ia lakukan. Apa laki-laki itu memiliki dua kepribadian?
Mengapa perubahannya sangat cepat?
“Ini
semua yang kamu beli kan?” tanyanya membuyarkan lamunanku yang sempat melintas
diotakku.
“Iya.”
Jawabku dan mendekat kearahnya yang sudah berbaris rapih di kasir.
“Terimakasih.”
Ucapku saat aku sudah membayar semua buku-buku ini.
“Sama-sama.”
Ucapnya dan beranjak kembali ke dalam toko buku.
“Ekhm,
namamu siapa?” tanyaku akhirnya.
“Ade
Himawan Mukti. Kau boleh memanggilku Ade.” Jawabnya kembali berbalik
menghadapku dan tersenyum manis yang menyebabkan lesung pipi sebelah kanannya
tercetak jelas.
“Ah,
ya. Aku Alice Anggraeni. Panggil saja Alice.” Ucapku kaku.
“Baiklah
Alice, semoga kita dapat bertemu kembali.” Jawabnya dengan kedua tangannya
dimasukkan kedalam saku celana jeans yang ia pakai dengan atasan kaos putih
polos dibalut jaket bertuliskan ‘New York.’
“Sampai
jumpa.” Ucapku dan pergi meninggalkan toko buku tersebut.
‘pertemuan
yang manis’ batinku.
Petang datang menyambutku yang masih
teduduk dibibir danau. Entah mengapa aku menjadi malas untuk pulang ke rumah
dan menikmati sunset di danau ini.
***
Hari pertama kuliah! Hari yang sudah
kutunggu-tunggu. Dengan senang hari aku menuju kampusku. Universitas Gajah
Mada. Hari pertama masuk kuliah aku mendapati masa orientasi. Disini aku
berdandan aneh, dengan memakai topi bola dan tas yang berasal dari kresek
blaster. Kunciran yang berjumlah 4, hingga kaos kaki bola yang berbeda warna.
Disini aku diberi nama ‘Kunti’, nama yang aneh.
Jam sudah menunjukkan pukul 08.00
pagi, dan sudah banyak orang yang akan menjadi mahasiswa disini kelak. Dan tak
lama beberapa orang mengenakan jas berwarna merah marun memasuki lapangan dengan
kalung identitas bertuliskan ‘panitia’. Diantara banyaknya panitia yang ada aku
melihat seseorang terlihat sangat familiar di mataku. Itu adalah Ade! Orang
yang ku temui di toko buku tempo hari. Dia panitia disini? Aku satu fakultas
dengannya? Dia seniorku?
“Kunti! Kemari.” Ucap salah seorang
senior wanita berambut pendek itu.
“Iya ada apa Kak?”
“Tolong bawa kardus itu kemari.”
Ucapnya seraya menunjuk kardus yang ukurannya cukup besar. Ku hampiri kotak
itu, sepertinya berisi barang-barang elektronik milik kampus ini. Ku coba untuk
mengangkatnya, namun hasilnya hanya satu. Nihil. Benda besar itu tak bergerak
sedikitpun.
“Hey, Kunti, ayo dong cepetan.”
Ucapnya. Jujur, aku memakinya dalam hati, apa-apaan dia? Hanya bisa menyuruh
tanpa bisa melakukannya. Menyebalkan.
“Sini, saya saja.” Ucap seorang
lelaki menghampiriku yang sedang susah mengangkat kardus ini. Aku mendongak
untuk melihat wajahnya. Dan itu adalah seseorang yang berhasil membantuku dua
kali. Ade.
“Ih, Ade, kok di bantu sih?” tanya
senior itu yang tadi kulihat namanya di kartu identitasnya. Rosa.
“Kamu itu cewe kan? Masa iya ngasih
tantangan ke cewe berat kayak gini sih?” ucapnya sedikit membentak kepada Kak
Rosa.
“Ade, lu kok gitu sama Rosa?” tanya
teman Kak Rosa dengan perawakan mungil dan rambut lurus sebahu.
“Harusnya saya yang nanya, kok kamu
tega sama dia?” ucap Ade, berlalu di hadapan Kak Rosa dan temannya. Aku yang
tak ingin terlibat dalam masalah ini lebih baik aku pergi. Menemui Tyas,
sahabatku.
***
Sudah tiga bulan aku menjabat
menjadi mahasiswi di universitas dengan jurusan seni. Aku semakin dekat dengan
Ade, seniorku. Walaupun aku masih sering di ganggu oleh Kak Rosa dan juga Kak
Esti. Dan sekarang aku tahu mengapa Kak Rosa sangat marah ketika Ade menolongku
tiga bulan lalu, karena Kak Rosa adalah mantan pacar Ade, dan hingga detik ini
Kak Rosa masih sangat sayang terhadap Ade.
“Alice, ke kantin yuk? Laper nih.”
Ucap Tyas menyenggol bahuku pelan. Aku tersenyum melihatnya dan mengangguk
setuju.
Sesampainya di kantin Tyas sudah
menyerbu pedagang nasi di fakultas ini. Aku yang sedang tak berselera makan
memilih mencari tempat duduk yang nyaman untukku dan Tyas. Aku memilih bangku
paling ujung, karena tempat itu jauh dari lalu lalang orang-orang.
“Alice!” panggil seseorang yang sudah
sangat ku hafal walau dengan suaranya saja.
“Iya Mas, kenapa?” tanyaku padanya.
“Kamu abis ini ada kelas ga?”
“Ada Mas, emang kenapa?”
“Mas mau ajak kamu jalan-jalan. Kita
bolos aja gimana?” ajak Ade kepadaku. Aku bingung menjawabnya, apa aku menjawab
‘ya’ saja? Bukankah peraturan di buat untuk sesekali kita langgar?
“Oke Mas, aku fikirkan dulu.”
“Mas tunggu di taman ya.” Ucapnya
dan menepuk bahuku. Tuhan, mengapa jantungku berdebar cepat?
***
Ternyata aku diajak oleh Ade untuk
berkeliling di daerah Malioboro, tempat yang sangat ku sukai. Disini aku dapat
merasakan pasar yang masih tradisional, di banding super market yang membuatku
tak merasakan riuhnya pasar. Aku dan Ade berkeliling untuk berbelanja, mulai
dari menyicipi segala makanan yang ada, hingga akhirnya kami terhenti di tempat
orang berjualan gudeg. Aku menikmati setiap detiknya bersama Ade. Seakan tiap
detiknya adalah momen berharga.
Acara wara-wiriku dilanjutkan hingga
menonton pertunjukkan para seniman handal yang bertempat di alun-alun ini. Sambil
memakan jagung manis, aku menikmati pertunjukkan kolosal ini. Namun, kita tak
sadar, bahwa langit telah mendung. Tak lama, terjadi hujan yang sangat lebat. Semua
orang berkeliaran mencari tempat berteduh, begitupun aku dan Ade. Hingga kami
berteduh di sebuah warung minuman.
“Kopi item nya satu ya mbak.” Ucap Ade.
“Aku juga mau Mas.”
“Jangan, kamu wedang jahe aja.” Jawab
Ade berubah sedikit ketus. Mau tak mau, aku mengangguk setuju. Hujan didaerah
Yogyakarta memang akhir-akhir ini sangat ekstrim. Namun, aku tak tahu akan
sedingin ini.
“Pake ini.” Ucap Ade sambil
mengulurkan jaketnya yang basah.
“Lumayanlah biar kamu gak
kedinginan.” Lanjutnya dan tersenyum kepadaku. Tuhan, kenapa jantungku berdebar
cepat seperti ini?
“Makasih Mas.”
***
Tak terasa masa kuliahku selesai
sebagai anak sastra. Hari ini adalah hari wisudaku. Tentu ini adalah hari yang
sangat special untukku. Karena kekasihku, Ade juga akan mendatangi wisudaku. Aku
telah berpacaran dengan Ade sejak kejadian bolos bersama itu. Walaupun esok
harinya aku terserang flu dan dimarahi oleh Pak Pur, namun dengan kondisi itu
Ade malah menyatakan perasaannya kepadaku. Moment yang lucu.
“Habis acara ini Mas mau ajak kamu
jalan-jalan sebentar ya?” ucap Ade seperti biasanya. Aku mengangguk setuju,
sekarang aku semakin tahu, bahwa aku takut kehilangannya.
Penobatan wisuda ini akhirnya
berakhir juga, setelah berpamitan ria, aku keluar dari gedung pertemuan dan
mencari Ade. Kuarahkan pandanganku ke seluruh penjuru parkir ini, dan kutemukan
dia sedang menyesap kopi hitam panas kesukaannya.
“Ayo Mas.” Ajakku ketika ia sudah
membayar minuman itu.
“Siap bos!” jawabnya sambil
terkekeh.
“Mas, emang kita mau kemana?” tanyaku
heran.
“Ke rumah mu, sayang.” Jawabnya yang
berhasil membuat jantungku kembali berdetak tidak normal. Ternyata ia
benar-benar dengan ucapannya. Dia membawaku ke rumahku. Aku semakin bingung
dengan orang-orang yang sudah memenuhi rumahku. Ada apa ini?
“Assalamu’alaikum.” Salamku ketika
memasuki rumah yang sudah dihadiri oleh sanak saudaraku. Aku mengerut bingung
ketika Ibu dan Ayah sudah berpakaian rapi sekali. Sebenarnya ini ada apa? Ku lihat
Ade yang sudah duduk diantara kedua orangtuanya. Apa ini berarti?
“Pak, Bu, disini saya selaku Ayahnya
Ade ingin menyampaikan keinginan anak saya untuk mempersunting anak Bapak
bernama Alice Anggraeni. Apakah Bapak dan Ibu mengizinkannya?” ucap Ayah Ade. Apa
tadi aku tak salah dengar?
“Hahahaha. Lebih baik Bapak tanyakan
langsung saja kepada anak saya, apakah ia mengixinkannya atau tidak.” Ucap Ayah
yang membuatku semakin lemas.
“Bagaimana nak? Anak Bapak ini sudah
ingin mempersuntingmu. Apakah anakku ini diperbolehkan menjadi pendamping
hidupnya cah ayu ini?”
“Mau Pak. Saya mau jadi pendamping
hidupnya Mas Ade.” Ucapku malu-malu. Dapat kutebak sekarang pipiku pasti sudah
sangat merah.
“Baiklah. Jika begitu, lamaran Ade
saya terima.” Ucap Ayahku mantap. Entah mengapa perasaan bahagia begitu saja
membuncah dalam hatiku. Aku sangat bahagia. Aku beruntung dapat mencintai sosok
seperti Ade, Tuhan, aku sangat berterimakasih.
***
Tiga tahun. Itulah umur pernikahanku
dengan Ade. Kini keadaanku telah berbadan dua. Anak pertamaku. Buah hati
kebanggaan Ade. Namun, hal yang masih aku tak mengerti, dia selalu tak
memperbolehkanku untuk menyesap kopi hitam atau jenis kopi lainnya. Awalnya aku
berfikir mungkin untuk kesehatanku, namun semakin kesini aku semakin merasa
heran.
Hari ini, Ade berencana untuk pergi
ke luar kota untuk tuntutan kerjanya. Namun, hati ini selalu menolaknya. Selalu
ingin mencegah Ade untuk pergi.
“Mas, tak bisakah esok saja kau
pergi?” pintaku dalam.
“Ini tuntutan kerja sayang, nanti
kalau gak kerja bisa kena marah.” Jawabnya lembut. Tuhan, aku semakin takut
kehilangannya. Tak lama ia berpamitan untuk pergi. Entah mengapa hati ini
selalu berteriak agar ia tak pergi.
Sudah satu minggu, namun Ade tak
kunjung pulang, sebenarnya dia kemana sih? Bukankah pekerjaannya hanya menyita
waktu tiga hari? Sedang kalut-kalutnya telephone ku berdering merdu.
“Halo.”
“Halo. Ini dengan Mba Alice?” tanya
seseorang diseberang sana dengan logat sunda yang khas.
“Iya, ada apa ya?”
“Mba, ini temannya Ade. Saya ingin
memberitahukan Mba, bahwa tadi Pak Ade terkena serangan jantung, dan sekarang
ia sudah tak tertolong lagi Mba.” Ucapnya kalut. Nafasku serasa terhenti secara
mendadak. Ragaku serasa lumpuh total. Tuhan, yang kudengar itu tidak nyata kan?
Semua ini pasti hanya mimpi. Ade baik-baik saja, dia tidak sakit. Mas ini pasti
bohong! Pasti bohong!
***
Namun, takdir berkata lain, semua itu
adalah kenyataan. Kini aku terduduk di kamarku. Aku tak ingin diganggu oleh
siapapun.
“Alice, nak, buka kan dulu pintunya
nak, ibu mau ngomong sama kamu cah ayu.” Ucap Ibu dibalik pintu kamarku. Aku hanya
diam membisu tanpa mengatakan sepatah katapun. Aku tak bisa menerima kenyataan
ini. ‘Mas, bukankah kau ingin melihat anak kita Mas? Mengapa kau meninggalkanku
sendirian seperti ini?’ batinku.
“Nih, Ibu taruh surat dari Ade
disini saja ya?” ucap Ibu lalu segera berbalik kembali. Mendengar kata ‘Ade’
disebutkan, aku langsung menoleh kearah pembicaraan Ibu tadi, namun Ibu sudah
menutup pintu kamarku. Aku langsung mendekat kearah selembar kertas berwarna
biru langit itu dan membacanya.
Alice Anggraeni. Ibu dari anakku
kelak.
Alice, aku tahu kau pasti merasa
kecewa dengan aku yang terlebih dahulu meninggalkanmu. Namun, ini semua demi
kebaikanmu, sayang. Aku menderita penyakit jantung akibat canduku terhadap
kopi, itulah sebabnya aku tak pernah memperbolehkanmu menyesap minuman yang bernama
kopi itu. Aku takut kau akan sepertiku, aku takut kau akan pergi meninggalkanku
terlebih dahulu. Alice, aku memang bukanlah pria yang romantic, namun aku hanya
ingin mengucapkan ini kepadamu. Aku mencintaimu. Berbahagialah dengan anak kita
demi aku.
Ade Himawan Mukti
“Aku pun mencintaimu Mas.” Gumamku,
air mataku tak mau berhenti, malah terus mengalir deras, baiklah. Jika itu
keinginanmu Mas. Aku turuti.
“Jadi
Ayah sakit ya bu? Ayah menyayangiku bu?” tanya Deira. Aku mengecup puncak
kepalanya lembut.
“Ayah
sangat menyayangimu nak. Sangat. Nah, sudah malam, sebaiknya kita tidur.” Ku tuntun
Deira ke kamarnya, yang berada di lantai dua. Setelah memastikan Deira sudah
terlelap, aku pergi menuju balkon. Hembusan angin mala mini sangatlah hangat.
“Selamat
Malam Mas.” Ucapku tersenyum saat melihat langit malam yang cerah. Lalu bergegas
untuk tidur. ‘kau takkan terganti, karena cintaku hanya untukmu Mas, kau abadi
dalam hatiku.’ Batinku.
-THE END-



Komentar
Posting Komentar