Waiting You



“Kamu yang gak mau ngertiin aku, kamu tuh terlalu kekanakan.”

“Aku salah, kalau aku khawatir sama kamu?”

“Salah! Kamu tuh terlalu cerewet! Kamu terlalu ngekang aku!”

“Itu karena aku sayang sama kamu.”

“Alah, Freak tau! Alasan kamu tuh tetep aja gitu.”

“Tapi…”

“Kita putus!”

Kejadian tiga hari lalu masih terekam jelas diingatanku. Ferdi, lelaki itu sampai sekarang tak pernah menghubungiku lagi sejak kejadian tiga hari lalu.
“Gina!” panggil Dila, sahabatku. Aku terlonjak kaget akibat panggilannya yang melengking itu.
“Galau mulu lo. Udahan dong, masa sahabat gue yang paling ceria ini tiba-tiba jadi pendiam dan galau mulu gini.” Omel Dila panjang.
“Iya, maaf deh maaf, gue tadi…”
“Tiba-tiba kefikiran Ferdi?” potong Dila cepat. Matanya yang oval itu memandangku tajam seakan mengatakan ‘bisa-yang-lain-gak-sih-?’ aku menghela nafas panjang dan mengangguk pasrah. Dila memandangku iba, pandangan yang paling aku tak suka.
“Yaudah, makan aja yuk! Kalau orang galau biasanya makan terus.” Goda Dila yang membuatku kesal.
“Lu tuh ya.” Ucapku kesal, namun disambut gelak tawa oleh Dila yang membuatku menggembungkan pipi.
***
            Ku alunkan nada mendayu yang berasal dari gesekan permainan biolaku. Entah mengapa pada saat ini pun aku masih dapat memikirkan Ferdi.
 
“Permainan biola kamu bagus.”
“Makasih.”
“Kamu itu unik ya, seneng banget main biola.” Ucapnya memandangku dalam, yang membuat semburat merah muncul dengan lucunya dimukaku.
“Hmm, ya, ketika aku bermain biola, aku menemukan duniaku yang lain, duniaku sendiri.”
“Aku boleh masuk kedalam duniamu?”
“Maksudmu?” jawabku tak mengerti. Semburat jingga sudah menghiasi langit, namun aku enggan meninggalkan moment ini sedikitpun. Aku melihatnya terduduk dan memandang semburat jingga yang menerpa wajahnya menampakkan seperti siluet dimataku. Dia berbalik menatapku, dan tersenyum sangat manis.
“Gin, aku suka sama kamu.”
Dan tepat setelah perkataan itu meluncur dengan sukses, aku tertegun.

Air mataku kembali mengalir deras, entah mengapa setiap mengingat Ferdi air mataku tak dapat dibendung kembali. Ku hentikan permainan biolaku, kuputuskan keluar dari ruang music ini dengan setengah berlari aku menelusuri lorong yang ramai oleh canda tawa anak-anak siswa siswi sekolah ini. Mereka menatapku dengan tatapan iba. Aku semakin berlari kearah atap sekolah.
“Arghhhhh!” teriakku setibanya diatap sekolah. Seakan-akan dengan teriakan itu semua tentang Ferdi akan terhapus dalam benakku.
“Hey, berisik!” suara asing tersebut menyahut tak lama setelah aku berteriak.
“Terserah aku.”
“Saat kau muak, kau akan menemukan hal yang akan membuatmu mengerti untuk tak jenuh dari kehidupan ini yang memiliki benyak kejutan Gin.” Jawabnya tenang, tadi… dia memanggil namaku? Dia siapa? Mengapa tahu namaku? Karena rasa penasaranku, ku beranikan diri untuk berbalik dan menghadapnya. Penampilannya seperti bukan siswa disini. Menggunakan celana jeans dengan balutan sweater dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Matanya yang sedikit menyipit, tubuhnya yang tinggi dengan garis wajah yang tegas.
“Kamu siapa?”
“Kau terlalu sibuk dengan duniamu, sehingga kau lupa denganku.” Aku semakin bingung dengan ucapannya. Apa maksudnya? Apa aku pernah bertemu dengannya? Rasanya tidak, hah, bukannya aku tidak ingat, namun otakku kini terpenuhi oleh Ferdi, pria yang memutuskan hubungan ini dengan sepihak.
            Dia menatapku lama, sebelum akhirnya dia mengulurkan tangannya dan tersenyum yang membuatku semakin bingung.
“Gue Daniel, cowok yang tiga hari lalu lu tabrak pake sepeda lu.” Ucapnya tanpa menghilangkan senyumnya yang semakin lama terlihat lesung pipi yang tercetak jelas pada kedua pipinya. Aku mengerut bingung, yang aku ingat saat kejadian tiga hari lalu aku menabrak seseorang, namun aku tak yakin sosok itu adalah Daniel.
“Kau ini bukan penguntit atau semacamnya kan?”
“Hahaha, bukanlah, emang ada penguntit yang ngikutin cewek yang nangis-nangis sambil naik sepeda sampe ada orang lagi jalan lu tabrak.” Ucapnya meledekku yang membuat semburat merah muncul dipipiku dengan manisnya. Namun aku takut dia adalah orang yang menguntit ayahku, dan menyangkut pautkan diriku dalam masalah mereka.
“Jangan takut, aku bukan penjahat sungguh.”
“Namun, darimana kau tahu namaku?”
“Ingatanmu buruk sekali, kau ini yang menabrakku dan aku yang terluka namun kau yang menangis dan mengatakan Ferdimu itu jahat, dan kau merancau sendiri dan berkata ‘Gina kau bodoh, sungguh bodoh’. Kau lupa?”
“Aku tak ingat.”
“Hapus airmatamu”
“Apa?”
“Airmatamu terlalu berharga untuk Ferdimu itu.”
“Dia memikirkanku saja tidak.”
“Justru itu lupakan dia.”
“Kau ini berani sekali ya!”
            Dan akupun meninggalkan Daniel yang masih tercengang akan sikapku. Enak sekali dia berkata untuk melupakan Ferdi, pria yang telah bersemayam selama 4 tahun dihatiku. Sekolah sudah terlihat sepi, sepertinya mereka sudah pulang. Aku berlari dan menaiki sepeda lipat kesayanganku dan beranjak untuk pulang. Air mataku semakin mengalir deras, entah mengapa aku tidak terima dengan perkataan Daniel, untuk melupakan Ferdi.
***
“Udahlah Gin, jangan nangis terus dong, aku tahu apa yang kamu rasain.” Ungkap Dila sambil terus menerus mengusap punggungku.
“Hiks… apa aku terlalu bodoh Dil, kalo aku mau tetep nunggu Ferdi? Aku terlanjur sayang sama dia… hiks… hiks..” jawabku sesenggukan.
“Aku tahu kamu sayang sama Ferdi, makanya nikmatin aja semua Gin, nikmatin saat kamu kangen sama dia, disakitin sama dia, seneng Ferdi deketin lu lagi, ada yang ngehibur lu, saat lu peduliin dia.nikmatin semua nya dan jalanin aja kayak air mengalir Gin.” Jawab Dila membuatku sedikit tenang. Dila terus menerus menghiburku bahkan denganku yang memang keras kepala ini.
“Thank’s Dil.” Jawabku akhirnya meredamkan tangisanku yang semula pecah.
“You’re welcome.” Jawab Dila tersenyum padaku.
Tak semua yang kau percayai akan mengerti apa yang kau rasakan. Dan tak semua dari mereka benar-benar perduli padamu. Maka, janganlah kamu berkeluh kesah pada orang yang salah.
            Pagi yang cerah, aku bergegas untuk berangkat sekolah. Kini, aku membangun semangat baru untuk menjalani hidup, dan berusaha menjauh dari seseorang bernama ‘Ferdi’ itu. Ku kayuhkan sepedaku kuat-kuat, aku hampir telat, fikirku. Hingga akhirnya aku selamat sampai sekolahku tercinta. Ku buka loker milikku dan mengambil beberapa buku, dan ada sesuatu yang terjatuh ketika aku mengambil buku cetak ‘music’. Ternyata itu adalah selembar kertas yang dilipat menjadi origami berbentuk hati dengan satu lollipop. Aku mengerut bingung.
‘siapa yang mengirim ini?’ batinku. Karena aku merasa penasaran, aku membuka origami itu dan disana hanya tertera sebuah kata yang membuat kerutan di dahiku semakin dalam.
Maaf.
Apa maksudnya? Siapa yang mengirimkan ini? Apa ini dari Ferdi? Namun, entah mengapa rasanya itu tidak mungkin. Sebaiknya kuberitahu Dila.
“Dilaaaaa!” teriakku pada gadis yang sedang menaiki tangga sekolah. Dila menengok dan mencari sumber suara, aku segera mengangkat tanganku dan berlari kearahnya, dan pada saat yang bersamaan aku menabrak seseorang.
“Argh!” teriaknya, membuat minuman yang ia bawa tumpah ke seragamku dan seragamnya.
“Yah, basah semua.”  Ujar lelaki itu, kelihatannya aku tahu siapa dia. Ku beranikan untuk mendongakkan kepalaku. Dan terlukislah wajah Daniel dengan garis wajah yang tegas itu. Kerutan dahinya sangat terlihat.
“Maaf.” Ucapku akhirnya. Ku ambilkan sapu tangan yang selalu ku bawa dengan inisial ‘GPM’ menandakan namaku dengan rajutan benang wol berwarna biru. Untuk beberapa detik ia terdiam, dan akhirnya dia mengambil sapu tanganku.
“Iya gapapa, makasih, lainkali jangan sampe nabrak oranglain kayak gini lagi.” Ucapnya sibuk membersihkan noda yang ada pada seragamnya. Daniel beralih memandangku, dia menarik tas yang sedari tadi tergantung manis dibahunya. Dan mengeluarkan sebuah sweater dengan gambar burung hantu tepat di tengah-tengah sweater itu.
“Pakai ini.” Ucapnya, lho? Kok dia jutek banget sih? Orang yang memiliki dua kepribadian sekaligus.
“Terimakasih.” Jawabku singkat, masih tercengang akan sikapnya.
“Ginaaaa.” Panggil Dila menghampiriku.
“Kamu gapapa?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Gapapa kok Dil, justru Daniel yang basah banget tuh bajunya.” Jawabku sambil menunjuk kearah Daniel.
“Oh, perasaan gue, gue belum pernah ketemu sama lu deh.” Ungkap Dila kepada Daniel.
“Iya, gue murid baru disini, gue Daniel.” Jawabnya tersenyum. Tuh kan, dia memiliki dua kepribadian.
“Yaudah yuk Gin, kita ke kelas.” Ajak Dila dan menuntunku, seakan aku ini barang yang mudah pecah dan harus dijaga baik-baik.
***
5 Bulan kemudian…………
            Sejak kejadian aku-menabrak-Daniel aku semakin dekat dengan Daniel, entah mengapa dia itu kocak dan nyambung ketika diajak ngobrol.
“Daniel! Diem gak? Argh! Nyebelin tau! Hahahhaha.” Ucapku ketika Daniel terus menerus menggelitikku. Dila pun ikut menggelitikku karena aku kalah bermain monopoli.
“Dilaaaaa hahahhahaha.” Teriakku karena terlalu geli dengan kelitikkan mereka.
“Udah nyerah aja lu.” Jawab Daniel. Sehingga aku mengangguk pasrah.
“Iya, iya gue nyerah.” Jawabku akhirnya.
            Semburat jingga telah mewarnai langit; menandakan waktu sudah sore. Aku, Dila dan Daniel bergegas pulang. Kami mengantarkan Dila terlebih dahulu karena dia rumahnya dekat dengan taman favorit kita bertiga.
“Oke, kalian hati-hati dijalan yaa.” Dila melambaikan tangannya kepada kami berdua.
“Sip.”
            Dalam perjalanan pulang, aku maupun Daniel saling mengumbar canda tawa. Hingga akhirnya Daniel mengajakku ke suatu tempat.
“Gina, kita kesana yuk.” Daniel menunjuk sebuah danau yang sangat indah.
“Ayo.” Ku percepat kayuhan sepedaku mengejar Daniel yang berada di depanku.
“Danau yang indah.” Ucapku setelah sampai di bibir danau yang sedikit sepi ini.
“Gue nemu tempat ini kemaren. Bagus?”
“Banget.” Ucapku sambil menatapnya yang sedang menatapku. Dia tersenyum dan mengelus rambutku kaku, dan kembali memandang semburat jingga yang perlahan berubah menjadi warna merah keunguan. Daniel merangkulku, entah mengapa aku merasa nyaman akan rangkulannya yang tersimpan manis pada pundakku.
***
            Hari pertama liburan! Aku langsung bergegas ke rumah Dila pagi-pagi sekali. Berniat untuk jogging bersama.
“Dila… ayo bangun! Inget kan kita mau jogging pagi ini?” ucapku sembari menggoyang-goyang tubuh Dila yang masih terbalut oleh selimut.
“Bentar, lima menit lagi deh.” Jawab Dila masih meringkuk manis diatas tempat tidurnya.
“Ayo bangun anak manis!” ucapku kembali berusaha membangunkan Dila. Dengan enggan Dila bangun dan berjalan gontai menuju kamar mandi.
            Pukul 06.30 kami baru saja memulai untuk jogging, aku mengajak Dila ke danau tempat Daniel kemarin, dia sampai berdecak kagum dan mengulum senyum manisnya. Aku ikut senang, aku tahu Dila menaruh rasa kepada Daniel sejak kejadian aku menumpahkan minuman yang ia bawa. Sangat terlihat dari sikapnya ketika berada di dekat Daniel.
“Coba aja gue yang kesini sama Daniel.” Gumam Dila yang masih terdengar di telingaku.
“Maaf Dil, gue juga gak tahu.” Jawabku. Dila tersenyum dan menepuk bahuku.
“Gak apa-apa kok Gin, gue tahu Daniel suka sama lu.” Ungkap Dila membuat kerutan di keningku.
“Kok gitu?”
“Terlihat dari sikapnya ke lu, oh ya, gue lupa, gue mau ke California. Dua minggu lagi.”
“Bukan karena Daniel kan?”
“Bukan lah, gue mau ngurusin kerjaan bokap gue, lagian juga gue lebih suka lihat kesenangan sahabat gue sendiri.”
“Tapi lu kan gak bahagia.”
“Gue bahagia karena ada yang bakal ngejaga lu Gin, gue disini kan bisa cari yang lain, do’ain aja di California gue menemukan pasangan gue.”
“Berapa lama di sana? Gue pasti kangen elu Dil.”
“Sebulan kok, gak terlalu lama kan?”
“Janji ya gak akan ninggalin gue….” Ucapku terpotong saat melihat sosok dibalik punggung Dila, seseorang yang mengatakan aku adalah seseorang yang kekanakan. Seseorang yang masih singgah dengan manis dihatiku, seperti empat tahun lalu; Ferdi.
“Dil, kita pergi dari sini yuk.” Ucapku gelisah, seakan menangkap tatapanku, Dila berbalik dan melihat Ferdi bersama seorang wanita dengan bergandengan tangan. Sebelum Dila bereaksi lebih kepada Ferdi aku menarik tangannya; menjauh dari Ferdi.
“Kamu tuh ya, udah disakitin sama Ferdi kan? Kenapa juga kamu bersikeras buat nunggu dia sih?” Tanya Dila tepat saat air mataku mengalir deras.
“Aku salah ya Dil?”
“Bukannya gitu, tapi kamu gak liat udah ada Daniel yang suka sama kamu Ginaa.”
“Tapi aku sayang sama Ferdi…”
“Tapi Daniel sayang sama kamu, tolong buka hati kamu buat Daniel, sedikit aja Gin.”
“Gue usahain deh Dil.” Aku mengerti maksud Dila, orang yang dia suka menyukaiku dan aku menyia-nyiakannya. Aku menjadi merasa bersalah pada Dila. Aku seperti orang jahat dalam dongeng anak yang menghancurkan impian seseorang.
“Maafin gue Dil.”
“Buat?”
“Karena udah ngancurin impian lu buat sama Daniel, gue sahabat yang jahat kan Dil?” Dila hanya tersenyum dan menepuk pundakku.
“Tidak, aku tidak pernah mengimpikan akan bersama Daniel kok, karena dihatinya ada kamu Gin. Lagian menurut gue, dia juga bukan yang gue sayang sebagai pria, tapi hanya sebagai sahabat.”
***
            Ferdi. Daniel. Kedua nama itu berkecamuk dihatiku. Pikiranku beradu, antara menerima seorang Daniel, atau tetap bertahan kepada Ferdi. Ku ambil notebook milikku dan menumpahkan segala yang ada dipikiranku kedalam sebuah cerita, yaa, cerita yang tak memiliki ujung yang pasti. Seperti hatiku sekarang yang dirundung berbagai rasa, sedih, ragu, dan perasaan bersalah. Aku takut melangkah untuk lebih jauh kembali; dan sakit kembali.
            Pukul 23.35 waktunya untuk segera beristirahat, namun mataku tak kunjung merasakan kantuk. Hatiku terus menerus bergemuruh, pikiranku terus menerus meminta kejelasan. Mungkin aku butuh waktu untuk sendiri. Hingga akhirnya telephone ku berdering merdu.
Aku Sayang Kamu Gin
                        Daniel.
Ku tutup mataku rapat-rapat sebelum akhirnya pertahananku runtuh berantakan. Ku akui akhir-akhir ini aku merasa nyaman ketika berada di dekat Daniel, namun hati ini masih tertambat kepada sosok yang entah masih merasakan hal yang sama atau tidak padaku; Ferdi. Hingga akhirnya aku menyerah dan tertidur.
            Kicauan burung pagi hari ini memaksaku untuk bangun di pagi hari. Ibu sudah mengetuk pintu kamarku berkali-kali.
“Gina, itu ada Daniel tuh, cepet gih sana mandi.” Aku mengerutkan kening bingung.
“Iya bu, sebentar.”
            Setelah bergegas mandi, aku bersiap-siap dengan menggunakan celana jeans dipadukan kemeja panjang yang sedikit longgar dan rambut yang dikuncir kuda. Aku pun melangkah menuju ruang tamu, disana kutemukan Daniel menggunakan sweater bergambar bendera amerika dengan celana jeans dan sepatu kets. Aku mengulum senyum melihatnya dan aku telah mengambil keputusan; memulai mencintai Daniel.
“Kita mau kemana nih?” tanyaku penasaran.
“Ke suatu tempat yang mungkin belum pernah kamu lihat.” Jaawabnya santai.
“Gue naik sepeda lu aja deh ya, males kayuh sepeda.”
“Siap bos.”
            Setelah berpamitan dengan Ibu dan Ayah, aku pergi dengan Daniel, entah dimana itu, namun dia berkata padaku untuk memakai sweater. Dan aku membawa jaket tebalku pemberian Ferdi saat anniversary ku yang ke tiga tahun. Hah, lagi-lagi aku teringat akan sosoknya itu. Aku menghela nafas sesak.
“Jangan kenceng-kenceng dong, aku takut.” Ucapku akhirnya untuk menutupi segala kesedihanku.
“Ahahahaha. Oke, oke.” Ujarnya memelankan kayuhan sepedanya. Udara yang menyentuh kulitku terasa sejuk dan segar.
            Tuhan, apa aku salah jika aku merasa nyaman berada di dekatnya? Apa ini sebuah rasa yang disebut cinta? Aku tak yakin jika aku dapat memulai mencintai orang lain selain sosok itu; Ferdi. Apa aku terlalu bersalah jika aku mengharapkan Ferdi tetap berada disisiku saat ini. Aku merasa kebahagiaanku tergantikan oleh sosok yang sedang membawaku pergi; pergi dari kegelapan dan kesunyian yang kuhadapi setahun terakhir, membawaku lari dari bayang-bayang semu sosok Ferdi. Membawaku menemukan arti kehidupan yang baru, menemukan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan pada Ferdi. Daniel.
            Disini, Daniel membawaku ketempat yang sangat indah. Di perbukitan yang sangat dingin, dengan kabut yang mengelilingi melingkari bukit. Awan tipis yang diselubungi oleh pelangi. Dengan pemandangan kota dibawahnya.
“Lu selalu tahu tempat yang indah.” Ucapku kepada Daniel. Aku masih takjub dengan pemandangan ini.
“Semua itu karena lu Gin, lu yang selalu buat gue mencari tempat yang bagus biar lu gak sedih terus.” Ucapnya seraya menggenggam tanganku dan meremasnya lembut. Di bukit yang hawa dinginnya menusuk tulang, namun genggaman tangannya menghantarkan sebuah kehangatan yang sangat nyaman.
“Thank’s ya.”
“Iya.” Kini aku tahu kepada siapa hati ini memilih.
***
“Gina, kayaknya kamu ini seneng banget deh.” Goda Ibu.
“Iya bu, Daniel tadi ngajak aku ke tempat yang indah.”
“Oh iya, Ibu lupa ngasih tau kamu tentang Daniel.”
“Maksud Ibu?”
“Jadi gini…”
 

 Saat senja sepuluh tahun lalu..

“Daniel, kamu senang tidak tinggal disini?” ucap seorang lelaki keturunan Korea yang ternyata adalah Ayah Daniel.

“Senang Yah.” Jawab Daniel kecil senang.

“Daniel akan tinggal disini kan Om?” Tanya anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua itu; Gina.

“Iya.” Jawab Ibu Gina yang membuat Gina berteriak kegirangan. Daniel dan Gina kecil berlari ke arah pelataran belakang rumah Daniel yang luas itu.

“Gina!” panggil Daniel yang sudah duduk dibawah pohon.

“Iya ada apa?” jawab Gina kecil mendekati Daniel.

“Nanti kamu mau kan jadi permaisuriku? Aku kan pangerannya.” Ungkap Daniel bangga. Gina mengangguk dan tersenyum.

“Aku mau.”

“Lihat anak-anak kita itu.” Ucap Ayah Gina kearah Ayah Daniel.

“Kuharap mereka tetap bersatu.” Harapan Ayah Gina akhirnya.

“Namun, esok aku dan Daniel akan terbang ke Korea.” Jawab Ayah Daniel sedih.

“Lalu kau akan kembali kapan?”

“Entahlah, mungkin ketika urusanku selesai.”

---

“Daniel kemana Ayah?” Tanya Gina kecil pada keesokan harinya, tepat saat senja muncul dirumahnya.

“Dia pergi sayang.”

“Tapi kemarin dia mengatakan tak akan pergi Ayah.. hiks.. hiks.” Tangis seorang gadis kecil; Gina.

“Sudahlah nak. Jangan menangis. Ayah Daniel juga berjanji akan pulang, walaupun entah kapan pastinya sayang. Jangan menangis.” Ucap Ibu Gina lembut.

“Aku ingin menunggunya Yah, Bu. Aku janji akan terus menunggunya.”

“Jadi aku berjanji untuk menunggu Daniel?” tanyaku tak percaya. Ibu mengangguk. Mendengar itu aku langsung berlari menuju rumah Daniel.
“Daniel! Daniel! Daniel!.” panggilku di pintu gerbang rumahnya yang cukup luas, tak sampai lima menit muncullah sosok yang aku tunggu di balik gerbang dan membuka gerbang.
“Ada apa…” belum selesai Daniel berbicara. Aku telah menangis dan menghambur ke pelukan Daniel.
“Ternyata aku telah menunggumu lama.” Ucapku, dengan deru nafas yang memburu dan detak jantung yang menggila.
“Maksudmu?” tanyanya bingung
“Aku.. aku telah menunggumu sejak sepuluh tahun lalu.” Ucapku hati-hati.
“Kau mengingatnya?” tanyanya tak percaya.
“Jadi kau tahu?”
“Hmmm, ya.” Ucapnya menerawang.
“Kau jahat.”
“Lagipula aku sudah ada disini, permaisuriku. Aku mencintaimu. Dan teruslah menjadi permaisuri untuk seorang Daniel Kim.”
“Aku juga mencintaimu, dan aku Gina Putri Maharani akan menjadi permaisurimu, pangeran Daniel Kim” Jawabku, mendengar itu Daniel mempererat pelukannya dan mengecup puncak kepalaku lama. Menyalurkan segala isi hatinya. Pada snja yang sama, hati kami menyatu, melebur menjadi satu menghiasi langit senja.
            Kini aku menemukan sebuah titik terang, yang ku tunggu bukanlah sosok Ferdi, namun sosok yang membuatku mengerti sebuah rasa sayang yang tulus, tak menghakimi kita dengan berbagai peraturan yang ia buat sendiri. Ketulusan bukan dilihat dari seberapa lama dia singgah dihatimu, namun bagaimana kamu tetap menantinya akan kembali. Dan aku telah menanti Daniel sejak 10 tahun yang lalu. Daniel, sosok yang dapat membuatku menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Saranghae Daniel.
-THE END-
 

Komentar

Postingan Populer