Waiting You
“Aku salah, kalau aku khawatir sama kamu?”
“Salah! Kamu tuh terlalu cerewet! Kamu terlalu
ngekang aku!”
“Itu karena aku sayang sama kamu.”
“Alah, Freak tau! Alasan kamu tuh tetep aja
gitu.”
“Tapi…”
“Kita putus!”
Kejadian
tiga hari lalu masih terekam jelas diingatanku. Ferdi, lelaki itu sampai
sekarang tak pernah menghubungiku lagi sejak kejadian tiga hari lalu.
“Gina!” panggil Dila, sahabatku. Aku terlonjak kaget
akibat panggilannya yang melengking itu.
“Galau mulu lo. Udahan dong, masa sahabat gue yang
paling ceria ini tiba-tiba jadi pendiam dan galau mulu gini.” Omel Dila
panjang.
“Iya, maaf deh maaf, gue tadi…”
“Tiba-tiba kefikiran Ferdi?” potong Dila cepat.
Matanya yang oval itu memandangku tajam seakan mengatakan
‘bisa-yang-lain-gak-sih-?’ aku menghela nafas panjang dan mengangguk pasrah.
Dila memandangku iba, pandangan yang paling aku tak suka.
“Yaudah, makan aja yuk! Kalau orang galau biasanya
makan terus.” Goda Dila yang membuatku kesal.
“Lu tuh ya.” Ucapku kesal, namun disambut gelak tawa
oleh Dila yang membuatku menggembungkan pipi.
***
Ku alunkan nada mendayu yang berasal
dari gesekan permainan biolaku. Entah mengapa pada saat ini pun aku masih dapat
memikirkan Ferdi.
“Permainan
biola kamu bagus.”
“Makasih.”
“Kamu itu
unik ya, seneng banget main biola.” Ucapnya memandangku dalam, yang membuat
semburat merah muncul dengan lucunya dimukaku.
“Hmm, ya,
ketika aku bermain biola, aku menemukan duniaku yang lain, duniaku sendiri.”
“Aku
boleh masuk kedalam duniamu?”
“Maksudmu?”
jawabku tak mengerti. Semburat jingga sudah menghiasi langit, namun aku enggan
meninggalkan moment ini sedikitpun. Aku melihatnya terduduk dan memandang
semburat jingga yang menerpa wajahnya menampakkan seperti siluet dimataku. Dia
berbalik menatapku, dan tersenyum sangat manis.
“Gin, aku
suka sama kamu.”
Dan tepat setelah perkataan itu
meluncur dengan sukses, aku tertegun.
Air
mataku kembali mengalir deras, entah mengapa setiap mengingat Ferdi air mataku tak
dapat dibendung kembali. Ku hentikan permainan biolaku, kuputuskan keluar dari
ruang music ini dengan setengah berlari aku menelusuri lorong yang ramai oleh
canda tawa anak-anak siswa siswi sekolah ini. Mereka menatapku dengan tatapan
iba. Aku semakin berlari kearah atap sekolah.
“Arghhhhh!” teriakku setibanya diatap sekolah.
Seakan-akan dengan teriakan itu semua tentang Ferdi akan terhapus dalam
benakku.
“Hey, berisik!” suara asing tersebut menyahut tak
lama setelah aku berteriak.
“Terserah aku.”
“Saat kau muak, kau akan menemukan hal yang akan
membuatmu mengerti untuk tak jenuh dari kehidupan ini yang memiliki benyak
kejutan Gin.” Jawabnya tenang, tadi… dia memanggil namaku? Dia siapa? Mengapa
tahu namaku? Karena rasa penasaranku, ku beranikan diri untuk berbalik dan
menghadapnya. Penampilannya seperti bukan siswa disini. Menggunakan celana
jeans dengan balutan sweater dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Matanya
yang sedikit menyipit, tubuhnya yang tinggi dengan garis wajah yang tegas.
“Kamu siapa?”
“Kau terlalu sibuk dengan duniamu, sehingga kau lupa
denganku.” Aku semakin bingung dengan ucapannya. Apa maksudnya? Apa aku pernah
bertemu dengannya? Rasanya tidak, hah, bukannya aku tidak ingat, namun otakku
kini terpenuhi oleh Ferdi, pria yang memutuskan hubungan ini dengan sepihak.
Dia menatapku lama, sebelum akhirnya
dia mengulurkan tangannya dan tersenyum yang membuatku semakin bingung.
“Gue Daniel, cowok yang tiga hari lalu lu tabrak
pake sepeda lu.” Ucapnya tanpa menghilangkan senyumnya yang semakin lama
terlihat lesung pipi yang tercetak jelas pada kedua pipinya. Aku mengerut
bingung, yang aku ingat saat kejadian tiga hari lalu aku menabrak seseorang,
namun aku tak yakin sosok itu adalah Daniel.
“Kau ini bukan penguntit atau semacamnya kan?”
“Hahaha, bukanlah, emang ada penguntit yang ngikutin
cewek yang nangis-nangis sambil naik sepeda sampe ada orang lagi jalan lu
tabrak.” Ucapnya meledekku yang membuat semburat merah muncul dipipiku dengan
manisnya. Namun aku takut dia adalah orang yang menguntit ayahku, dan
menyangkut pautkan diriku dalam masalah mereka.
“Jangan takut, aku bukan penjahat sungguh.”
“Namun, darimana kau tahu namaku?”
“Ingatanmu buruk sekali, kau ini yang menabrakku dan
aku yang terluka namun kau yang menangis dan mengatakan Ferdimu itu jahat, dan
kau merancau sendiri dan berkata ‘Gina kau bodoh, sungguh bodoh’. Kau lupa?”
“Aku tak ingat.”
“Hapus airmatamu”
“Apa?”
“Airmatamu terlalu berharga untuk Ferdimu itu.”
“Dia memikirkanku saja tidak.”
“Justru itu lupakan dia.”
“Kau ini berani sekali ya!”
Dan akupun meninggalkan Daniel yang
masih tercengang akan sikapku. Enak sekali dia berkata untuk melupakan Ferdi,
pria yang telah bersemayam selama 4 tahun dihatiku. Sekolah sudah terlihat
sepi, sepertinya mereka sudah pulang. Aku berlari dan menaiki sepeda lipat
kesayanganku dan beranjak untuk pulang. Air mataku semakin mengalir deras,
entah mengapa aku tidak terima dengan perkataan Daniel, untuk melupakan Ferdi.
***
“Udahlah Gin, jangan nangis terus dong, aku tahu apa
yang kamu rasain.” Ungkap Dila sambil terus menerus mengusap punggungku.
“Hiks… apa aku terlalu bodoh Dil, kalo aku mau tetep
nunggu Ferdi? Aku terlanjur sayang sama dia… hiks… hiks..” jawabku sesenggukan.
“Aku tahu kamu sayang sama Ferdi, makanya nikmatin
aja semua Gin, nikmatin saat kamu kangen sama dia, disakitin sama dia, seneng
Ferdi deketin lu lagi, ada yang ngehibur lu, saat lu peduliin dia.nikmatin
semua nya dan jalanin aja kayak air mengalir Gin.” Jawab Dila membuatku sedikit
tenang. Dila terus menerus menghiburku bahkan denganku yang memang keras kepala
ini.
“Thank’s Dil.” Jawabku akhirnya meredamkan
tangisanku yang semula pecah.
“You’re welcome.” Jawab Dila tersenyum padaku.
Tak semua yang kau
percayai akan mengerti apa yang kau rasakan. Dan tak semua dari mereka
benar-benar perduli padamu. Maka, janganlah kamu berkeluh kesah pada orang yang
salah.
Pagi yang cerah, aku bergegas untuk
berangkat sekolah. Kini, aku membangun semangat baru untuk menjalani hidup, dan
berusaha menjauh dari seseorang bernama ‘Ferdi’ itu. Ku kayuhkan sepedaku
kuat-kuat, aku hampir telat, fikirku. Hingga akhirnya aku selamat sampai
sekolahku tercinta. Ku buka loker milikku dan mengambil beberapa buku, dan ada
sesuatu yang terjatuh ketika aku mengambil buku cetak ‘music’. Ternyata itu
adalah selembar kertas yang dilipat menjadi origami berbentuk hati dengan satu
lollipop. Aku mengerut bingung.
‘siapa
yang mengirim ini?’ batinku. Karena aku merasa penasaran, aku membuka origami
itu dan disana hanya tertera sebuah kata yang membuat kerutan di dahiku semakin
dalam.
Maaf.
Apa
maksudnya? Siapa yang mengirimkan ini? Apa ini dari Ferdi? Namun, entah mengapa
rasanya itu tidak mungkin. Sebaiknya kuberitahu Dila.
“Dilaaaaa!” teriakku pada gadis yang sedang menaiki
tangga sekolah. Dila menengok dan mencari sumber suara, aku segera mengangkat
tanganku dan berlari kearahnya, dan pada saat yang bersamaan aku menabrak
seseorang.
“Argh!” teriaknya, membuat minuman yang ia bawa
tumpah ke seragamku dan seragamnya.
“Yah, basah semua.”
Ujar lelaki itu, kelihatannya aku tahu siapa dia. Ku beranikan untuk
mendongakkan kepalaku. Dan terlukislah wajah Daniel dengan garis wajah yang
tegas itu. Kerutan dahinya sangat terlihat.
“Maaf.” Ucapku akhirnya. Ku ambilkan sapu tangan
yang selalu ku bawa dengan inisial ‘GPM’ menandakan namaku dengan rajutan
benang wol berwarna biru. Untuk beberapa detik ia terdiam, dan akhirnya dia
mengambil sapu tanganku.
“Iya gapapa, makasih, lainkali jangan sampe nabrak
oranglain kayak gini lagi.” Ucapnya sibuk membersihkan noda yang ada pada
seragamnya. Daniel beralih memandangku, dia menarik tas yang sedari tadi
tergantung manis dibahunya. Dan mengeluarkan sebuah sweater dengan gambar
burung hantu tepat di tengah-tengah sweater itu.
“Pakai ini.” Ucapnya, lho? Kok dia jutek banget sih?
Orang yang memiliki dua kepribadian sekaligus.
“Terimakasih.” Jawabku singkat, masih tercengang
akan sikapnya.
“Ginaaaa.” Panggil Dila menghampiriku.
“Kamu gapapa?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Gapapa kok Dil, justru Daniel yang basah banget tuh
bajunya.” Jawabku sambil menunjuk kearah Daniel.
“Oh, perasaan gue, gue belum pernah ketemu sama lu
deh.” Ungkap Dila kepada Daniel.
“Iya, gue murid baru disini, gue Daniel.” Jawabnya
tersenyum. Tuh kan, dia memiliki dua kepribadian.
“Yaudah yuk Gin, kita ke kelas.” Ajak Dila dan
menuntunku, seakan aku ini barang yang mudah pecah dan harus dijaga baik-baik.
***
5
Bulan kemudian…………
Sejak kejadian aku-menabrak-Daniel
aku semakin dekat dengan Daniel, entah mengapa dia itu kocak dan nyambung
ketika diajak ngobrol.
“Daniel! Diem gak? Argh! Nyebelin tau! Hahahhaha.”
Ucapku ketika Daniel terus menerus menggelitikku. Dila pun ikut menggelitikku
karena aku kalah bermain monopoli.
“Dilaaaaa hahahhahaha.” Teriakku karena terlalu geli
dengan kelitikkan mereka.
“Udah nyerah aja lu.” Jawab Daniel. Sehingga aku
mengangguk pasrah.
“Iya, iya gue nyerah.” Jawabku akhirnya.
Semburat jingga telah mewarnai
langit; menandakan waktu sudah sore. Aku, Dila dan Daniel bergegas pulang. Kami
mengantarkan Dila terlebih dahulu karena dia rumahnya dekat dengan taman
favorit kita bertiga.
“Oke, kalian hati-hati dijalan yaa.” Dila
melambaikan tangannya kepada kami berdua.
“Sip.”
Dalam perjalanan pulang, aku maupun
Daniel saling mengumbar canda tawa. Hingga akhirnya Daniel mengajakku ke suatu
tempat.
“Gina, kita kesana yuk.” Daniel menunjuk sebuah
danau yang sangat indah.
“Ayo.” Ku percepat kayuhan sepedaku mengejar Daniel
yang berada di depanku.
“Danau yang indah.” Ucapku setelah sampai di bibir
danau yang sedikit sepi ini.
“Gue nemu tempat ini kemaren. Bagus?”
“Banget.” Ucapku sambil menatapnya yang sedang
menatapku. Dia tersenyum dan mengelus rambutku kaku, dan kembali memandang
semburat jingga yang perlahan berubah menjadi warna merah keunguan. Daniel
merangkulku, entah mengapa aku merasa nyaman akan rangkulannya yang tersimpan
manis pada pundakku.
***
Hari pertama liburan! Aku langsung
bergegas ke rumah Dila pagi-pagi sekali. Berniat untuk jogging bersama.
“Dila… ayo bangun! Inget kan kita mau jogging pagi
ini?” ucapku sembari menggoyang-goyang tubuh Dila yang masih terbalut oleh
selimut.
“Bentar, lima menit lagi deh.” Jawab Dila masih
meringkuk manis diatas tempat tidurnya.
“Ayo bangun anak manis!” ucapku kembali berusaha
membangunkan Dila. Dengan enggan Dila bangun dan berjalan gontai menuju kamar
mandi.
Pukul 06.30 kami baru saja memulai
untuk jogging, aku mengajak Dila ke danau tempat Daniel kemarin, dia sampai
berdecak kagum dan mengulum senyum manisnya. Aku ikut senang, aku tahu Dila
menaruh rasa kepada Daniel sejak kejadian aku menumpahkan minuman yang ia bawa.
Sangat terlihat dari sikapnya ketika berada di dekat Daniel.
“Coba aja gue yang kesini sama Daniel.” Gumam Dila
yang masih terdengar di telingaku.
“Maaf Dil, gue juga gak tahu.” Jawabku. Dila
tersenyum dan menepuk bahuku.
“Gak apa-apa kok Gin, gue tahu Daniel suka sama lu.”
Ungkap Dila membuat kerutan di keningku.
“Kok gitu?”
“Terlihat dari sikapnya ke lu, oh ya, gue lupa, gue
mau ke California. Dua minggu lagi.”
“Bukan karena Daniel kan?”
“Bukan lah, gue mau ngurusin kerjaan bokap gue,
lagian juga gue lebih suka lihat kesenangan sahabat gue sendiri.”
“Tapi lu kan gak bahagia.”
“Gue bahagia karena ada yang bakal ngejaga lu Gin,
gue disini kan bisa cari yang lain, do’ain aja di California gue menemukan
pasangan gue.”
“Berapa lama di sana? Gue pasti kangen elu Dil.”
“Sebulan kok, gak terlalu lama kan?”
“Janji ya gak akan ninggalin gue….” Ucapku terpotong
saat melihat sosok dibalik punggung Dila, seseorang yang mengatakan aku adalah
seseorang yang kekanakan. Seseorang yang masih singgah dengan manis dihatiku,
seperti empat tahun lalu; Ferdi.
“Dil, kita pergi dari sini yuk.” Ucapku gelisah, seakan
menangkap tatapanku, Dila berbalik dan melihat Ferdi bersama seorang wanita
dengan bergandengan tangan. Sebelum Dila bereaksi lebih kepada Ferdi aku
menarik tangannya; menjauh dari Ferdi.
“Kamu tuh ya, udah disakitin sama Ferdi kan? Kenapa
juga kamu bersikeras buat nunggu dia sih?” Tanya Dila tepat saat air mataku
mengalir deras.
“Aku salah ya Dil?”
“Bukannya gitu, tapi kamu gak liat udah ada Daniel
yang suka sama kamu Ginaa.”
“Tapi aku sayang sama Ferdi…”
“Tapi Daniel sayang sama kamu, tolong buka hati kamu
buat Daniel, sedikit aja Gin.”
“Gue usahain deh Dil.” Aku mengerti maksud Dila,
orang yang dia suka menyukaiku dan aku menyia-nyiakannya. Aku menjadi merasa
bersalah pada Dila. Aku seperti orang jahat dalam dongeng anak yang
menghancurkan impian seseorang.
“Maafin gue Dil.”
“Buat?”
“Karena udah ngancurin impian lu buat sama Daniel,
gue sahabat yang jahat kan Dil?” Dila hanya tersenyum dan menepuk pundakku.
“Tidak, aku tidak pernah mengimpikan akan bersama
Daniel kok, karena dihatinya ada kamu Gin. Lagian menurut gue, dia juga bukan
yang gue sayang sebagai pria, tapi hanya sebagai sahabat.”
***
Ferdi. Daniel. Kedua nama itu
berkecamuk dihatiku. Pikiranku beradu, antara menerima seorang Daniel, atau
tetap bertahan kepada Ferdi. Ku ambil notebook milikku dan menumpahkan segala
yang ada dipikiranku kedalam sebuah cerita, yaa, cerita yang tak memiliki ujung
yang pasti. Seperti hatiku sekarang yang dirundung berbagai rasa, sedih, ragu,
dan perasaan bersalah. Aku takut melangkah untuk lebih jauh kembali; dan sakit
kembali.
Pukul 23.35 waktunya untuk segera
beristirahat, namun mataku tak kunjung merasakan kantuk. Hatiku terus menerus
bergemuruh, pikiranku terus menerus meminta kejelasan. Mungkin aku butuh waktu
untuk sendiri. Hingga akhirnya telephone ku berdering merdu.
Aku Sayang Kamu Gin
Daniel.
Ku
tutup mataku rapat-rapat sebelum akhirnya pertahananku runtuh berantakan. Ku
akui akhir-akhir ini aku merasa nyaman ketika berada di dekat Daniel, namun
hati ini masih tertambat kepada sosok yang entah masih merasakan hal yang sama
atau tidak padaku; Ferdi. Hingga akhirnya aku menyerah dan tertidur.
Kicauan burung pagi hari ini
memaksaku untuk bangun di pagi hari. Ibu sudah mengetuk pintu kamarku
berkali-kali.
“Gina, itu ada Daniel tuh, cepet gih sana mandi.”
Aku mengerutkan kening bingung.
“Iya bu, sebentar.”
Setelah bergegas mandi, aku
bersiap-siap dengan menggunakan celana jeans dipadukan kemeja panjang yang
sedikit longgar dan rambut yang dikuncir kuda. Aku pun melangkah menuju ruang
tamu, disana kutemukan Daniel menggunakan sweater bergambar bendera amerika
dengan celana jeans dan sepatu kets. Aku mengulum senyum melihatnya dan aku
telah mengambil keputusan; memulai mencintai Daniel.
“Kita mau kemana nih?” tanyaku penasaran.
“Ke suatu tempat yang mungkin belum pernah kamu
lihat.” Jaawabnya santai.
“Gue naik sepeda lu aja deh ya, males kayuh sepeda.”
“Siap bos.”
Setelah berpamitan dengan Ibu dan
Ayah, aku pergi dengan Daniel, entah dimana itu, namun dia berkata padaku untuk
memakai sweater. Dan aku membawa jaket tebalku pemberian Ferdi saat anniversary
ku yang ke tiga tahun. Hah, lagi-lagi aku teringat akan sosoknya itu. Aku
menghela nafas sesak.
“Jangan kenceng-kenceng dong, aku takut.” Ucapku
akhirnya untuk menutupi segala kesedihanku.
“Ahahahaha. Oke, oke.” Ujarnya memelankan kayuhan
sepedanya. Udara yang menyentuh kulitku terasa sejuk dan segar.
Tuhan, apa aku salah jika aku merasa
nyaman berada di dekatnya? Apa ini sebuah rasa yang disebut cinta? Aku tak
yakin jika aku dapat memulai mencintai orang lain selain sosok itu; Ferdi. Apa
aku terlalu bersalah jika aku mengharapkan Ferdi tetap berada disisiku saat
ini. Aku merasa kebahagiaanku tergantikan oleh sosok yang sedang membawaku
pergi; pergi dari kegelapan dan kesunyian yang kuhadapi setahun terakhir,
membawaku lari dari bayang-bayang semu sosok Ferdi. Membawaku menemukan arti
kehidupan yang baru, menemukan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan pada
Ferdi. Daniel.
Disini, Daniel membawaku ketempat
yang sangat indah. Di perbukitan yang sangat dingin, dengan kabut yang
mengelilingi melingkari bukit. Awan tipis yang diselubungi oleh pelangi. Dengan
pemandangan kota dibawahnya.
“Lu selalu tahu tempat yang indah.” Ucapku kepada
Daniel. Aku masih takjub dengan pemandangan ini.
“Semua itu karena lu Gin, lu yang selalu buat gue
mencari tempat yang bagus biar lu gak sedih terus.” Ucapnya seraya menggenggam
tanganku dan meremasnya lembut. Di bukit yang hawa dinginnya menusuk tulang,
namun genggaman tangannya menghantarkan sebuah kehangatan yang sangat nyaman.
“Thank’s ya.”
“Iya.” Kini aku tahu kepada siapa hati ini memilih.
***
“Gina, kayaknya kamu ini seneng banget deh.” Goda
Ibu.
“Iya bu, Daniel tadi ngajak aku ke tempat yang
indah.”
“Oh iya, Ibu lupa ngasih tau kamu tentang Daniel.”
“Maksud Ibu?”
“Jadi gini…”
Saat senja sepuluh tahun lalu..
“Daniel,
kamu senang tidak tinggal disini?” ucap seorang lelaki keturunan Korea yang
ternyata adalah Ayah Daniel.
“Senang
Yah.” Jawab Daniel kecil senang.
“Daniel
akan tinggal disini kan Om?” Tanya anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua
itu; Gina.
“Iya.”
Jawab Ibu Gina yang membuat Gina berteriak kegirangan. Daniel dan Gina kecil
berlari ke arah pelataran belakang rumah Daniel yang luas itu.
“Gina!”
panggil Daniel yang sudah duduk dibawah pohon.
“Iya ada
apa?” jawab Gina kecil mendekati Daniel.
“Nanti
kamu mau kan jadi permaisuriku? Aku kan pangerannya.” Ungkap Daniel bangga.
Gina mengangguk dan tersenyum.
“Aku
mau.”
“Lihat
anak-anak kita itu.” Ucap Ayah Gina kearah Ayah Daniel.
“Kuharap
mereka tetap bersatu.” Harapan Ayah Gina akhirnya.
“Namun,
esok aku dan Daniel akan terbang ke Korea.” Jawab Ayah Daniel sedih.
“Lalu kau
akan kembali kapan?”
“Entahlah,
mungkin ketika urusanku selesai.”
---
“Daniel
kemana Ayah?” Tanya Gina kecil pada keesokan harinya, tepat saat senja muncul
dirumahnya.
“Dia
pergi sayang.”
“Tapi
kemarin dia mengatakan tak akan pergi Ayah.. hiks.. hiks.” Tangis seorang gadis
kecil; Gina.
“Sudahlah
nak. Jangan menangis. Ayah Daniel juga berjanji akan pulang, walaupun entah
kapan pastinya sayang. Jangan menangis.” Ucap Ibu Gina lembut.
“Aku
ingin menunggunya Yah, Bu. Aku janji akan terus menunggunya.”
“Jadi
aku berjanji untuk menunggu Daniel?” tanyaku tak percaya. Ibu mengangguk.
Mendengar itu aku langsung berlari menuju rumah Daniel.
“Daniel! Daniel! Daniel!.” panggilku di pintu
gerbang rumahnya yang cukup luas, tak sampai lima menit muncullah sosok yang
aku tunggu di balik gerbang dan membuka gerbang.
“Ada apa…” belum selesai Daniel berbicara. Aku telah
menangis dan menghambur ke pelukan Daniel.
“Ternyata aku telah menunggumu lama.” Ucapku, dengan
deru nafas yang memburu dan detak jantung yang menggila.
“Maksudmu?” tanyanya bingung
“Aku.. aku telah menunggumu sejak sepuluh tahun
lalu.” Ucapku hati-hati.
“Kau mengingatnya?” tanyanya tak percaya.
“Jadi kau tahu?”
“Hmmm, ya.” Ucapnya menerawang.
“Kau jahat.”
“Lagipula aku sudah ada disini, permaisuriku. Aku
mencintaimu. Dan teruslah menjadi permaisuri untuk seorang Daniel Kim.”
“Aku juga mencintaimu, dan aku Gina Putri Maharani
akan menjadi permaisurimu, pangeran Daniel Kim” Jawabku, mendengar itu Daniel
mempererat pelukannya dan mengecup puncak kepalaku lama. Menyalurkan segala isi
hatinya. Pada snja yang sama, hati kami menyatu, melebur menjadi satu menghiasi
langit senja.
Kini aku menemukan sebuah titik
terang, yang ku tunggu bukanlah sosok Ferdi, namun sosok yang membuatku
mengerti sebuah rasa sayang yang tulus, tak menghakimi kita dengan berbagai
peraturan yang ia buat sendiri. Ketulusan bukan dilihat dari seberapa lama dia
singgah dihatimu, namun bagaimana kamu tetap menantinya akan kembali. Dan aku
telah menanti Daniel sejak 10 tahun yang lalu. Daniel, sosok yang dapat
membuatku menemukan kebahagiaan yang sebenarnya. Saranghae Daniel.
-THE
END-



Komentar
Posting Komentar